Sunyi memerangkap. Tak ada Andam yang bisa diajak berbincang membuat Pak Cakra memilih berdiam diri di kamar. Dibukanya laci nakas di samping ranjang lalu mengambil sebuah buku kenangan. Album foto keluarga mereka. Hal yang berkali-kali dilakukan Pak Cakra jika sedang sendirian. Hal yang selalu menemaninya sepanjang sepuluh tahun tak berkawan siapa pun di rumah tersebut.
Tak ada hal paling menyamankan dari mengenang orang yang kita cintai. Ya, bagi Pak Cakra, cinta kepada Marlian adalah masih, bukan pernah. Perasaan itu tak melebur sedikit pun oleh kebencian. Tidak peduli seberapa dalam luka yang ditinggalkan Marlian karena kepergian perempuan itu memilih laki-laki lain.
Benarkah? Benarkah Marlian memilih Winata karena memang perempuan itu mencintainya? Apakah tulus yang tatapannya berikan sewaktu menerima janji sakral pada hari itu hanyalah kebohongan? Jika benar, betapa Marlian begitu lihai mengelabui ketulusannya.
Mengelabui? Tidak. Bahkan Pak Cakra tak ingin menganggap seburuk itu terhadap mantan istrinya.
Lembar pertama dari album keluarga terbuka. Potret kebersamaan mereka saat Andam wisuda TK. Gadis kecilnya yang kini menjelma wanita dewasa masih secantik dulu. Kecantikan yang menurun dari Marlian. Bahkan, warna mata mereka serupa. Tidak cokelat, tidak juga merah. Warna yang jika ditatap mengirim sendu yang menghangatkan.
Lembar kedua memuat foto pernikahan mereka. Senyum mereka tampak dari wajah keduanya. Dengan sepenuh hati, Pak Cakra meyakini bahwa senyum Marlian adalah tulus.
Lalu, bagaimana bisa mereka berakhir seperti sekarang? Betapa mudah cinta mereka digoyahkan oleh kedatangan orang baru.
"Maaf, Mas. Aku memang mencintai Winata. Itu kenapa aku ingin kamu menyetujui perceraian kita."
Bohong jika dirinya tak geram dengan pengakuan kurang ajar Marlian. Namun, saat menemukan tatapan perempuan itu, Pak Cakra seperti menemukan sesuatu yang disembunyikan.
"Lian, waktu berlalu sudah sangat jauh. Sayangnya, kenyataan masih tak bisa aku ubah. Kamu masih mendominasi dalam kehidupanku. Bahkan tak beranjak seinci pun dari relung yang memang sudah aku siapkan khusus untukmu. Betapa cinta bisa membuat kita bodoh, ya, Lian?"
Bulir hangat merangsek ke sudut kedua netra Pak Cakra. Kemarahannya dilumat rindu yang setiap hari bertambah meski tak lagi pernah bersua.
***
Operasi selesai dilakukan. Kini, Marlian masih terlelap karena pengaruh obat bius. Seharian itu, Sagita tak beranjak semenit pun dari rumah sakit. Dirinya ingin selalu membersamai sang ibu. Tak peduli tumpukan pekerjaan yang seharusnya selesai minggu ini. Marlian adalah yang terpenting sekarang.
Jam di dinding ruang perawatan masih menunjuk pukul tujuh malam, tetapi kantuk wanita itu sudah menyerang. Enggan memenjarakan tubuh wanita itu untuk beranjak mencari segelas kopi hangat. Bahkan jika ada, semangkuk mi rebus kuah susu.
Fiuh! Mi kuah susu, ya? Ingatannya melayang ke Andam. Pada malam-malam dingin setelah hujan menderas sejak pagi, biasanya Andam akan turun ke dapur untuk membuat mi rebus yang kuahnya terbuat dari campuran susu varian flavour plain. Andam akan menambahkan tiga sampai empat sendok muncung susu bubuk Dancow ke dalam air rebusan mi. Tidak lupa menambahkan telur, sawi hijau, kol, dan ulekan cabai yang sebelumnya sudah direbus. Membayangkannya saja sudah membuat Sagita menelan liur.
Andam selalu bisa membuat menu yang membangkitkan selera makan. Tidak peduli tengah malam sekalipun, kalau dia ingin makan atau membuat sesuatu, ya, dia akan melakukannya. Stok bahan di dapur selalu lengkap karena hobi Andam membuat ini dan itu. Padahal, dia sendiri sering tidak ikut mencicipi. Hasil kerajinan tangannya akan dia bagikan ke orang rumah dan kantor. Mbak Jum dan Pak Husin adalah orang pertama yang akan dia sodori hasilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Leaf Letter
RomanceAndam kembali. Wanita itu memutuskan untuk menebus kerinduan sang ayah yang dia tinggalkan sepuluh tahun lalu. Kepulangannya ke rumah tempat dia tumbuh hingga usia 18 tahun membuka kembali memori lama. Dari dalam kotak berwarna merah keoranyean, An...