"Loh, kotak jepit rambut Andam? Lah, kemarin dia lupa ambil, ya?" Kanala bergegas menenteng kotak rias yang Andam bawa kemarin untuk memenuhi permintaan hairstylish dari Kanala.Langkahnya tergesa keluar, malah setengah berlari menghampiri rumah keluarga Gema yang merupakan ujung dari Gang Purnama IV. Seorang pria berpakaian rapi dan wangi tengah memanaskan Avanza putih gading di halaman rumah tersebut.
"Gem, nanti mampir ke rumah Andam, ya." Kanala berdiri tepat di samping pria itu.
"Buat?" Tangannya berhenti sejenak dari kesibukan melap kaca mobil.
"Balikin ini." Kanala meletakkan kotak tak seberapa besar itu di kap mobil. "Punya Andam. Peralatan hairstylish dia yang kemarin dipake buat nata rambutku dan Chika. Dia titip dan lupa diambil lagi."
Gema mengangguk-angguk. "Taro aja di kursi depan. Nanti aku mampiri sekalian jalan ke kantor buat balikin dia." Gema menepuk-nepuk body Avanza yang memang bukan kendaraan pribadinya.
"Oke." Kanala membuka pintu bagian penumpang depan dan meletakkan kotak tersebut. Berbasa-basi satu dua kalimat lantas kembali ngacir karena harus segera ke kantor.
Lima belas menit kemudian, Gema sudah mengemudikan Avanza menuju kediaman Pak Cakra. Berhenti tepat di depan pagar, satu meter sebelum pintu masuk. Ya, meski tidak bisa juga disebut pintu. Rumah Pak Cakra, meskipun berpagar, tetapi gerbang yang dipunya hanya semacam ajir lengkung besar di mana mawar-mawar merambat nyaman mengelilinginya. Kedatangan Gema bertepatan dengan keluarnya Andam sambil membawa ransel.
Gema berhenti beberapa langkah di belakang Andam yang sedang mengunci pintu. Tatapannya menyelidik heran karena Andam keluar sambil membawa ransel yang cukup sarat muatan. Seperti orang yang akan pergi selama beberapa hari.
"Kamu mau pergi, Ndam?"
Suara Gema sukses mengejutkan wanita itu.
"Gem? Ngagetin tau!" Dia bersungut setelah berbalik dan menemukan pria itu yang memberinya seringaian.
"Kamu ngapain bawa-bawa ransel begitu? Mau ke luar kota?"
"Ah, ini ...."
Entah apakah Andam bisa menceritakan pelik yang tengah dihadapi atau justru harus berbohong agar tak merepotkan pria itu nantinya. Tatapannya lebih dulu terarah ke kotak di tangan kanan Gema.
"Eh, iya. Itu kotak punyaku, kok, ada di kamu?"
Gema menengok kotak di tangannya. "O, ini. Iya, tadi Kanala nitip buat anterin ke kamu karena aku sekalian jalan ke kantor. Kamu lupa ambil kemarin, 'kan?"
Andam mengangguk. Usai menghadiri resepsi pernikahan abangnya Kanala, Andam lupa mampir ke rumah Kanala untuk mengambil kotak peralatan tata rambutnya.
"Kamu mau ke luar kota, Ndam?" Gema kembali menelisik. Tatapannya kini jatuh ke dua mata Andam yang tampak sembap. Netra yang kondisinya sama seperti kala dia menemukan Andam di bangunan tua, sebelas tahun lalu. Dia menangis sepanjang malam? Kenapa?
"Aku ... ada urusan di ibu kota." Andam meremat jari-jemari yang saling bertaut untuk mengusir gugup.
"Kamu baik-baik saja? Matamu ... seperti menangis semalaman. Mata yang kondisinya sama seperti sebelas tahun lalu saat aku menemukan kamu di bangunan tua. Apa sesuatu terjadi, Andam?"
Ah, sial! Kenapa selalu Gema yang memergoki kekacauan dirinya? Kenapa selalu Gema yang menemukan matanya bengkak akibat menangis sepanjang tidur?
"Ah, ini ...."
Kenapa pula dirinya kesulitan menjelaskan? Tinggal berbohong hendak mengurus sesuatu di rumah lamanya atau mengunjungi Sagita karena suatu hal, bukankah akan beres seketika? Gema tak perlu tahu. Masalah matanya bengkak, dia tinggal bilang semalam menonton film sedih sehingga tangisnya berlarut-larut meski film telai usai. Beres, 'kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Leaf Letter
RomanceAndam kembali. Wanita itu memutuskan untuk menebus kerinduan sang ayah yang dia tinggalkan sepuluh tahun lalu. Kepulangannya ke rumah tempat dia tumbuh hingga usia 18 tahun membuka kembali memori lama. Dari dalam kotak berwarna merah keoranyean, An...