Surat 36

80 17 0
                                    


Andam menemukan Pak Cakra masih di kursi makan. Tatapannya tak beralih dari telepon rumah yang duduk nyaman di nakas dekat pintu yang mengarah ke halaman samping. Cukup membuat Andam heran karena tidak biasanya sang ayah masih terjaga pada waktu yang akan segera jatuh pukul satu dini hari.

"Tumben Ayah belum tidur?" Andam melangkah ke dapur untuk mengambil sebotol air minum.

"Ehm ... Ayah belum ngantuk, kok." Ada ragu yang hinggap dalam kalimat balasan Pak Cakra. Lelaki itu bukannya belum mengantuk. Ada yang dirinya tunggu dari seberang dunia yang biasa terhubung lewat jaringan telepon rumah.

Disadari atau tidak, sebelum Andam memutuskan keluar menuju dapur, dia memperhatikan Pak Cakra kerap menatap telepon yang sejak bertahun-tahun selalu berada di sana. Bahkan mungkin tak pernah berpindah.

"Ayah nungguin siapa? Ada yang mau nelepon Ayah? Dari tadi Andam perhatikan, perhatian Ayah tertuju ke telepon itu terus. Klien?" Entah kenapa dirinya jadi cerewet.

"Eh? O ... enggak, kok. Bukan. Ayah memang belum mengantuk, makanya masih di sini. Masih lanjut baca berita pagi." Pak Cakra mengetuk-ngetuk koran di atas meja.

Percuma juga didesak. Pak Cakra sangat lihai jika bermain rahasia.

"Baiklah, Andam ke kamar. Mau bobo. Besok pagi harus ke rumah Kanala sehabis subuh. Ayah ikut nganter rombongan, 'kan?"

Kanala bilang, Pak Cakra juga diminta untuk ikut rombongan pengantin pria. Biar bagaimana pun, terlepas dari kedekatan Kanala dan Andam, Pak Cakra termasuk orang yang dekat dengan warga di Gang Purnama II dan IV. Siapa pun yang mengadakan hajat, lelaki tua itu tak pernah ketinggalan menjadi bagian.

"Hu um. Ayah diminta ikut nganter pengantin pria."

Andam mengangguk-angguk, mendekati Pak Cakra, lalu mendaratkan ciuman di pipi lelaki itu. "Selamat malam, Ayah. Jangan begadang. Ingat umur. Udah tua. Angin malam enggak baik buat orang sepuh." Seringainya muncul.

Sebelum Pak Cakra bereaksi, Andam segera bergegas masuk kamar.

Kenapa dia tidak menghubungiku malam ini? Bukankah dia sudah berjanji akan menghubungi duluan? Saat tadi coba kutelepon pun tidak diangkat. Apa dia sudah tidur?

Pak Cakra mengangkat bahu, beranjak ke kamar, memilih untuk segera rebah. Meski ucapan Andam berkesan candaan, memang angin malam tidak begitu baik untuk orang sepuh sepertinya.

***

Sesak itu dia tumpahkan pada bisu malam di taman rumah sakit. Sepi yang menggigit membuatnya leluasa meluapkan bah dari kedua netra. Tergugu bersama derik jangkrik yang tersebar tidak hanya sekitar pos jaga, tetapi lorong-lorong rumah sakit.

Bagaimana bisa? Bagaimana bisa ini semua menimpa maminya?

"Dia kembali, Sagita. Dia kembali, tetapi kali ini lebih serius. Menyerbu penuh ke area rahimnya."

Bahkan hanya dengan mendengar penjelasan Mahespati--yang tidak sepenuhnya dia ingat karena terlalu syok--sudah membuat bulu kuduk berdiri, hati meremang, serta mendesak untuk menumpahkan limbahnya.

Dia tak ingin ditinggalkan sendirian lagi. Dia tak mau ada yang pergi lagi dari hidupnya. Pertama dulu, perempuan yang paling dia cintai pergi tanpa pamit, tidak kembali setelah berhari-hari mendekam di ruang ICU. Hal terakhir yang dia ingat hanya beberapa kalimat wejangan sang mama.

"Gita jadi anak baik, ya. Jadi anak yang nurut sama Papa. Baik sama semua orang. Jangan pilih-pilih teman. Belajar yang rajin dan jadi murid yang membanggakan nantinya."

Begitulah dirinya hidup. Selalu menjadi gadis baik-baik karena begitulah keinginan sang mama.

Bertahun-tahun hanya ada dirinya dan Papa di meja makan. Begitu usianya menginjak belasan tahun, awal sekali menjadi anak SMA, Winata membawa seorang perempuan cantik yang tampak begitu ringkih. Mengingatkannya dengan sosok yang telah pergi kemarin dulu.

Leaf LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang