Surat 34

75 16 0
                                    


"Senyum-senyum sendiri. Lagi liatin apa?"

Nyaris ponsel di tangannya meloncat jika saja refleks wanita itu buruk. Setelah mengelus dada dan bernapas lega, wajahnya mendongak ke pemilik suara yang datangnya tiba-tiba.

"Maaf, maaf. Enggak maksud ngagetin dan bikin ponsel seharga sepuluh juta itu meluncur mencium lantai granit." Tanpa merasa berdosa, dia menyeringai.

"Bukan masalah harga ponselnya, ya. Kamu ngagetin, itu iya. Gimana kalau aku kena serangan jantung?" Wajah kesal wanita itu tidak dibuat-buat. Lantas, kepalanya melongok ke arah belakang. Tidak menemukan orang yang dicari. "Kamu datang sendiri? Enggak sama mamamu?"

Pria di depannya menggeleng sambil tersenyum. Benar, makhluk yang datangnya tanpa suara itu adalah seorang pria.

"Baru minggu lalu Mama ke sini. Ya, kali setiap minggu ngapelin butikmu."

"Ya, siapa tahu setiap minggu bikin kostum." Masih tidak habis pikir. Bagaimana bisa dia tidak mendengar suara langkah pria itu? Apa karena terlalu asyik menontoni foto-foto yang dia abadikan saat kemah beberapa hari lalu? Benar-benar.

"Kamu camping, kok, enggak ajak-ajak aku?"

Wanita itu mengernyit. "Kamu enggak ada bilang kepengin camping."

"Kamu enggak nawarin."

Hah? Sejak kapan dirinya harus menawarkan sesuatu kepada pria itu? Dekat saja tidak. Mengenal pun hanya sebatas karena dia dokter yang pernah menangani mami dan papanya. Tidak lebih.

"Sepertinya, perlu diluruskan. Kita enggak sedekat itu sampai harus saling mengabari apa yang akan kita lakukan, Dokter Mahespati."

Ucapan Inez beberapa hari lalu, ketika dirinya kembali ke butik setelah mengambil cuti, kembali terngiang.

"Hampir tiap hari mobilnya lewat sini, loh, Git. Padahal, rute dari rumah sakit ke rumahnya ada yang lebih dekat, 'kan? Untuk apa coba? Ya, untuk mantau kamu." Inez segera memberi laporan sambil membenahi beberapa kain yang baru datang.

"Mungkin rute terpendeknya lagi macet parah, Mbak Inez. Bisa jadi, 'kan? Makanya dia ambil rute di depan Lianz." Dirinya tak mau langsung GR hanya karena pria itu bolak-balik di depan Lianz.

Siapa tahu memang rute terpendek yang biasa dia lalui sedang macet parah, 'kan? Siapa tahu dia bosan lewat rute biasa dan ingin mencicipi suasana lain. Pasalnya, jalan di mana Lianz Boutique berdiri, bisa dibilang, memang bukan jalan biasa. Rute tersebut merupakan area pertokoan yang menyajikan beragam hal. Dari street food sampai kios bunga hidup maupun toko bunga potong. Kafe-kafe untuk tempat nongkrong anak muda pun berjajar setiap beberapa blok. Kebanyakan yang memadati jalanan di depan Lianz Boutique ya para pejalan kaki. Beberapa pesepeda motor yang kebanyakan ojek online berlalu lalang pun karena antar-jemput pesanan. Mobil? Jarang sekali lewat meski lebar jalanan cukup untuk dijadikan dua jalur beda arah dengan masing-masing lajur hanya memuat satu mobil.

"Wong, dia nanyain kamu mulu, tuh." Inez menahan geli. Bos barunya benar-benar tak memiliki kepekaan dalam membaca mimik pria yang sedang kasmaran.

Sagita menghela napas. Jadi, Mahespati benar-benar ingin mendekatinya? Hanya sekadar penasaran akibat Sagita masa bodoh atau memang untuk serius?

Ketukan lembut di bahu kiri Sagita menyadarkan wanita itu dari lamunan.

"Jangan kebanyakan ngelamun. Entar kesambet."

"Kamu lagi perlu sesuatu sampai masuk butik begini?" Sagita ingin mengabaikan dugaan-dugaan yang semakin mengusik perasaannya jika terus dipikirkan.

Leaf LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang