Surat 15

99 19 4
                                    

(Andam's PoV)
*
*
*

Selamat pagi.
Semoga harimu jauh lebih menyenangkan di bulan yang penuh hujan ini.
Ah, iya. Terima kasih atas surat balasan yang kemarin. Sampai kapan aku terus menjadi misteri? Sampai nanti waktu membongkarnya tiba.

Mr. Leaf

Aku kembali meletakkan surat daun kesekian ke dalam kotak khusus di laci terbawa meja belajar. Membiarkan benda itu bergabung dengan yang lain. Tumpukannya makin menggunung. Entah sudah berapa banyak dengan isi pesan yang tidak jauh-jauh dari sapaan selamat pagi. Meski begitu, entah kenapa rasanya melegakan jika menemukan surat daun di atas meja setiap pagi. Seolah hari yang akan terlalui baik-baik saja.

Aku bergegas menutup jendela setelah dering bel sepeda Kanala terdengar di halaman depan. Bukan cuma dering bel sekarang, siulan dua pemuda pun ikut meramaikan kode panggilan untukku.

Setelah yakin pintu terkunci dengan baik, aku menghampiri mereka; memberi senyum sepintas kepada ketiga makhluk itu lalu mengayuh pedal mendahului.

Tidak banyak hal yang kami lalui sebagai murid sekolah di pedesaan. Berangkat dan pulang sesuai waktu. Terkadang telat karena harus menghadiri ekstrakurikuler yang dijadwalkan seminggu dua kali per masing-masing bidang. Pulang dan pergi masih mengandalkan sepeda roda dua tanpa mesin yang setiap kayuhannya bersimfoni dengan angin pagi, dersik daun bambu dari pinggir sungai yang kami lewati, cericit burung perkutut dan gereja yang bebas hinggap di pohon-pohon kelapa, serta gemerisik batang-batang padi yang menguning.

Sesekali, entah saat pulang atau berangkat, kami mampir ke pohon kresem di belakang sekolah jika tengah musim berbuah. Hal paling menyenangkan adalah melihat Yodha dan Kanala berebut butir-butir buah kresem merah dan setengah merah yang biasa kami sebut cemadung. Padahal yang memiliki andil paling besar dalam mengumpulkan butir-butir buah adalah Yodha, tetapi teman gadisku itu tak mau kalah. Pokoknya, harus dibagi sama rata.

Berteman dengan anak laki-laki maka kamu harus merasakan sekali-sekali menjadi ceroboh dan sedikit nakal. Adakala Yodha dan Gema mengajak kami berangkat agak telat yang pada akhirnya menjadikan jalanan desa yang baru teraspal sebagai arena lomba balap. Belum lagi saat gerbang sekolah sudah lebih dulu ditutup Mang Aan. Yodha dan Gema akan mengajak kami putar haluan. Bukan, bukan. Bukan untuk membolos. Kami sepakat tidak akan pernah melakukan hal ini. Yang kami lakukan adalah menitipkan sepeda ke warung di belakang sekolah yang cukup mengenal Yodha dan Gema, lalu kami memanjat tembok belakang yang memang sepi penjagaan dan tanpa dipagari kawat berduri atau pecahan beling.

Aku pernah menceritakan kenakalan ini kepada Ayah. Apa jawaban Pak Cakra?

"Nikmati saja. Selama nilai-nilai sekolahmu enggak turun. Selama kamu enggak membuang etikamu, maka nikmati fase menjadi gadis yang hidup di dunia abu-abu. Ayah juga dulu pernah begitu."

O, baiklah. Beliau merestui selama aku masih bisa beretika baik dan memiliki nilai yang baik di sekolah.

Mendung yang mengantar kami saat pergi tadi segera turun padahal masih setengah perjalanan. Segera kami mengayuh pedal lebih cepat, tetapi tetap kalah cepat dengan hujan yang mainnya keroyokan. Begitu sampai sekolah, sebagian seragam basah. Sialnya, aku dan Kanala tidak membawa jaket atau sweeter. Kalau ada, kan, bisa ganti sembari menunggu seragam dikeringkan.

Jangan heran! Kami sudah terbiasa melakukan hal seperti itu, apalagi saat musim penghujan tiba. Banyak murid sini memakai atau membawa jaket/sweeter untuk mengantisipasi kehujanan di tengah jalan. Ya, selain untuk pengganti sementara, sekaligus untuk menambah keren style anak SMA.

Leaf LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang