Surat 32

74 18 0
                                    


Nomor Andam sudah didapatnya dari sang mama, tetapi keberanian untuk bertanya perihal wanita itu masih tak kunjung muncul. Sejak beberapa menit lalu, tangannya hanya sibuk bolak-balik buka-tutup aplikasi hijau. Berhenti di layar chat atas nama Andamuthi C.L tanpa membubuhkan pesan apa pun.

"Kamu kapan, to, ngenalin calon istrimu ke Mama, Mas?" tanya perempuan paruh baya yang sedang mengolesi roti dengan selai cokelat.

"Tunggu waktu yang tepat." Dia menyeringai lalu mengambil sebilah roti dan mengolesinya dengan selai kacang.

"Terus, kemarin minta nomor Andam buat apa?" Pertanyaan menyelidik perempuan itu membuat tangan sang putra berhenti.

"Ada perlu."

"Kamu suka Andam? Mama setuju, loh, kalau kamu mau lamar dia."

"Hah?"

Tatapan bingung putranya cukup menjelaskan bahwa tidak seharusnya perempuan itu mengucap demikian.

"Loh, kenapa? Andam wanita single. Kamu juga single. Kalian sama-sama belum menikah, jadi ada kesempatan kalian berjodoh, 'kan?"

Dari cara bicara sang mama, dia tahu jika perempuan itu mengharapkan Andam terikat tali kekeluargaan dengan mereka.

"Mahes enggak naksir Andam, Ma." Agar tidak berharap lebih lanjut, dirinya perlu meluruskan.

"Loh, kenapa? Dia wanita baik-baik. Pintar masak juga. Berpendidikan dan dari kalangan keluarga baik-baik. Cantik dan manis. Paket lengkap, loh."

Mahespati mendengkus. "Yang Mahes suka itu adiknya. Sagita."

"Sagita?" Mama Mahespati memiringkan kepala, mencoba mengingat-ingat kapan dia mendengar nama itu. "Ah, yang gantiin Andam di Lianz Boutique?"

"Iya. Dia."

"Hm ... dia juga manis dan tampak cerdas."

"Kalau Mas lamar dia, Mama kasih restu?" Agak khawatir Mahespati akan jawaban sang mama. Pasalnya, jelas perempuan itu lebih tertarik dengan pribadi Andam daripada Sagita. Mungkin karena sudah mengenal Andam cukup lama.

"Mama pengennya kamu sama Andam."

Mahespati meringis atas pernyataan sang mama.

"Tapi, ya, kalau kamu sukanya Sagita, Mama enggak masalah. Mama enggak mau memaksakan kehendak orang tua untuk anaknya. Lagian, Mama enggak mau kamu tertekan karena menikah bukan dengan wanita yang kamu pilih." Mama mengelus lembut lengan Mahespati.

Senyum lega segera menghampiri wajah pria 32 tahun yang pagi ini bersih dari cambang. Dengan begini, restu Mama sudah didapat. Tinggal otaknya harus berputar mencari cara untuk meruntuhkan benteng yang dibangun Sagita.

***

Bumi perkemahan yang mereka datangi persis di bawah kaki gunung. Bukan hanya mereka rupanya yang akan menghabiskan waktu di alam terbuka. Begitu mobil masuk parkiran, beberapa mini bus dan pikap sudah lebih dulu menghuni.

Tentu saja. Lokasi tersebut memang dibuka untuk umum. Bisa dibilang sebagai pintu masuk dari jalur pendakian para pecinta alam yang ingin mendaki salah satu gunung yang memang cukup terkenal di kalangan para pecinta alam. Sayangnya, Empat Sekawan plus Sagita itu tidak berpengalaman dalam mendaki. Mereka tak mau ambil risiko. Jadi, hanya memanfaatkan area pintu masuk pendakian untuk berkemah.

"Mendaki kayaknya lebih seru, ya?" Sagita menyipit sambil menudungi kedua mata dengan sebelah tangan saat melihat beberapa orang di kejauhan melakukan pendakian.

"Enggak boleh sembarangan kalau mau mendaki. Seenggaknya harus bawa pemandu. Ketahanan tubuh kita juga perlu dilatih dulu biar enggak ambyar pas ndaki." Kanala mulai menurunkan perlengkapan.

Leaf LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang