Surat 38

78 17 0
                                    


Prosesi ijab kabul pernikahan kakak lelaki Kanala telah selesai. Serangkaian acara adat pun telah purna. Para pengiring pengantin dari pihak laki-laki dipersilakan mencicipi jamuan, dari makanan berat sampai camilan-camilan ringan. Beberapa jenis jajanan pasar khas kabupaten mereka pun berjejer di rak khusus dalam meja di ujung jejeran baki-baki prasmanan.

Wajah-wajah bahagia terpancar bukan saja dari kedua mempelai, tetapi dari kedua keluarga bahkan kedua rombongan yang hadir. Tidak terkecuali Kanala, Andam, dan Chika yang memilih duduk dalam satu saf. Sesekali saling sikut untuk menggoda tampilan masing-masing. Lebih banyak Andam yang menggoda Kanala karena kelakuan Yodha yang sangat terang-terangan membidik wanita itu.

"Bu Sitha harus mulai siap-siap lagi." Andam menceletuk. Kebetulan, ibu Kanala duduk tidak jauh dari bangku mereka.

"Siap-siap apa, Ndam?" Sambil menikmati sebilah lapis legit, Ibu Sitha menanggapi.

"Enggak lama lagi, rumah Ibu Sitha yang akan ramai begini. Tenda pernikahan menaungi dengan megah. Pelaminan dengan bunga-bunga indah membentang sepanjang delapan meter."

"Itu kalau bagian Kanala udah sampai. Lah, dia saja sekarang jomlo lagi jomlo lagi."

Kanala memberengut. Ibunya memang tidak akan segan untuk mem-bully anak sendiri.

Andam dan Chika menahan kekehan.

"Bang Yodha kan udah nembak Mbak Kana, Oma Sitha."

Ibu Sitha yang sedang menyedot air mineral dalam gelas langsung tersedak. "Apa, Chik? Kamu bilang apa barusan? Yodha kenapa?"

"Bang Yodha udah nembak Mbak Kana. Cuma, Mbak Kana belum ngasih jawaban mau nerima atau enggak." Chika mengangkat bahu acuh. "Ya, kalau sampai enggak diterima, sih, ter-la-lu." Chika meniru logat Raja Dangdut untuk kata terakhir.

"Kok, kamu enggak bilang Ibu, sih, kalau Yodha suka kamu?" Ibu Sitha memelototi putri satu-satunya.

"He he he. Kan, Kanala juga belum ngasih jawaban, Bu." Wanita itu malah cengengesan tanpa beban.

"Harus terima. Pokoknya harus terima." Bu Sitha mengultimatum. "Serius, ya, Kana. Ibu rida benar-benar rida kalau kamu terima Yodha."

"Sttt! Ibu, kecilin suaranya, ih. Bahas ininya nanti aja kan bisa." Kanala menengok kanan dan kiri. Merasa tidak enak karena suara ibunya cukup keras. Ya, mungkin beberapa orang di dekat mereka bisa mendengar percakapan tersebut.

"Sampe kamu enggak terima Yodha, Ibu coret dari KK, loh."

Andam dan Chika menahan tawa melihat ekspresi Bu Sitha yang benar-benar galak. Sementara Kanala menggerak-gerakkan bibir tanpa suara, tampak ingin protes, tetapi urung dilaksanakan.

***

Pak Cakra merasakan getar panjang dari ponsel di saku celana. Tanda untuk panggilan masuk. Sederet nomor tak dikenal yang menghubunginya. Sebagai sopan santun, Pak Cakra izin dari gerombolan bapak-bapak pengiring mempelai pria, beranjak mencari tempat yang agak sepi untuk menerima panggilan tersebut.

"Halo?"

"Om Cakra? Ini Sagita."

Ah, rupanya nomor anak itu. Bagaimana bisa dia punya nomornya?

"Ada apa, Git?" Pak Cakra mengernyit. Getar dari suara Sagita terdengar berbeda. Seperti orang yang sedang menahan sesak--atau jangan-jangan anak itu sedang menangis?

"Mami ... Mami ...."

Di seberang sana, Sagita tak kuasa menceritakan kondisi sang mami saat ini. Beberapa jam lalu, tubuh renta itu menggelinjang kesakitan di ranjang. Jika saja tak segera diberi obat penahan nyeri, Marlian tak akan tidur dengan tenang sekarang.

Leaf LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang