Surat 14

81 22 25
                                    

"Tahu kamu yang dateng, Bunda yang masak, deh. Kok, pada enggak bilang kalau Andam mau ke sini?" Bunda Ayu menatap ketiga anak manusia yang hanya menyeringai tak berdosa.

"Aku, sih, udah kasih tahu Gema, ya, Bund." Kanala tak ingin disalahkan begitu saja.

"Lupa, Bunda." Gema meringis. Sebuah tepukan melayang ke bahunya. "Ish, sakit, Bund!"

"Apa, sih, yang enggak kamu lupa, Gem?" Bunda Ayu bersungut.

"Enggak apa-apa, Bunda. Masakan Gema juga enak. Persis racikan Bunda dulu." Sejak berteman dengan Gema hari itu, Andam memanggil Bunda Ayu dengan sebutan Bunda pula, sama seperti Yodha dan Kanala.

"Harus sama persis, dong. Biar pengajaran tujuh hari tujuh malam yang Bunda kasih ke dia enggak sia-sia." Bunda melirik skeptis ke anak bungsunya.

"Apaan? Enggak ada tujuh hari tujuh malam. Sehari jadi. Aku, kan, jenius." Gema tak mau dijadikan kambing hitam.

"Bunda senang akhirnya kamu balik ke kampung ini lagi, Ndam." Tatapan Bunda Ayu penuh rindu. Meski hanya teman putranya, kepada Andam dan Kanala, Bunda Ayu sudah menganggap mereka seperti anak sendiri. Sangat menyenangkan melihat interaksi mereka setiap ke kedai lamanya.

"Sudah waktunya Andam kembali, Bunda. Kasihan Pak Cakra." Andam melengkungkan senyum.

"Ya, sudah. Nikmati sajian kalian, ya. Kapan-kapan, kita ngobrol lagi." Bunda Ayu menepuk-nepuk lembut punggung Andam.

"Bunda sehat-sehat, 'kan?" Ah, benar juga. Seharusnya, dia menanyakan ini sejak tadi.

"Bunda sehat-sehat aja. Ya, kadang encok, sih. Maklumlah, ya. Usia tak lagi muda." Bunda Ayu mengerling.

"Tapi masih cantik, kok." Kanala menyambung lalu mengerling.

"Oke. Bakso bakarnya gratis."

Gema menatap tak percaya ke sang bunda. "Apaan, Bun? Gratis? Dia makan sepuluh tusuk, Bund. Se-pu-luh tu-suk!"

"Udah, enggak masalah. Untuk menyambut kedatangan Andam kembali, semua makanan yang kalian makan hari ini, Bunda gratiskan!"

"Yosh! Itu baru Bunda Ayu!" Yodha segera melahap satu tusuk bakso bakar milik Kanala, membuat gadis itu memelotot.

"Have fun malam ini, ya." Bunda Ayu mengelus bahu Andam.

"Terima kasih, Bunda."

Bunda Ayu beranjak, sedangkan Gema masih tak berhenti melongo. Lantas, tatapannya melirik ke Yodha dan Kanala. Dua makhluk itu jelas sangat bahagia mendapat traktiran dari Bunda Ayu.

Sementara Yodha dan Kanala saling memamerkan senyum sambil menaikturunkan alis.

***

"Aku kekenyangan, deh. Enggak bisa jalan ke mana-mana lagi ini." Kanala mengelus-elus perut sambil bersandar ke dinding.

"Gimana enggak kenyang? Bakso lima tusuk abis semua. Belum lagi mi goreng. Milkshake alpukat sampai dua gelas. Ikutan nyomot sosis bakarku. Tuh, perut udah kayak emak-emak bunting tau!" Yodha menimpali sambil bersungut. Meski begitu, tingkahnya tak berbeda dengan Kanala. Pria itu menyender sambil pula mengelus-elus perut.

Andam hanya geleng-geleng melihat tingkah kedua temannya. Wanita itu memilih duduk di salah satu undakan teras. Alam seperti tersinkronisasi untuk menunjukkan keindahannya kepada Andam. Langit cerah tanpa sapuan awan, sama sekali tak mendung karena memang belum musim. Sepoi angin persawahan menyentuh lembut kulit lengan Andam, membawa aroma padi yang siap panen.

Beberapa rumah tak lagi tampak menyala terang. Dapat dilihat dari luar jika lampu area dalam, kebanyakan, telah dimatikan. Menyisa lampu luar atau taman untuk menerangi jalan Gang Purnama IV. Tata letak yang tidak begitu berbeda dengan Gang Purnama II yang memang hanya memiliki satu akses jalan lebar.

Leaf LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang