Surat Penutup

284 26 12
                                    


Pepatah lama bilang, jangan pernah berhenti berusaha untuk mendapatkan hasil yang baik. Tuhan tidak pernah menutup peluang bagi setiap hamba yang mengerahkan segala daya dan upaya untuk mencapai titik yang diinginkan.

Minggu telah berlari cukup jauh dari hari di mana mereka seolah mendapat serangan jantung bersamaan ketika mendengar Marlian kembali mengidap kanker. Bahkan kanker kali ini nyaris mengantarkan nyawa perempuan itu ke liang lahat jika saja keegoisan dipertahankan. Namun, berkat hati yang bijak, berkat hati yang mau melihat lebih lapang segala peluang, berkat hati yang memercayai bahwa kuasa Tuhan tidak sekecil itu untuk hamba-Nya, Marlian mampu melewati serangkaian pengobatan menjenuhkan. Bertahan dari rasa sakitnya usai radiasi lalu menjalani operasi dan harus mengikhlaskan bahwa dirinya tak lagi memiliki rahim--untuk yang satu ini, Marlian tak mempermasalahkan karena toh dirinya sudah sepuh.

Perjuangan yang tak hanya berhenti di sana karena masih harus menjalani kemoterapi yang menyiksa, yang membuatnya mau tak mau menerima kenyataan untuk botak sementara.

"Enggak usah pikirkan rambutmu. Toh, nanti-nanti masih bisa tumbuh, Lian. Produk penumbuh rambut sudah tersebar di seluruh toko negeri ini. Pilih yang terbaik dan kamu akan mendapatkam rambut indahmu lagi." Begitulah Pak Cakra menegarkan istrinya.

Ya, istrinya. Mereka telah kembali menikah. Dua minggu pascaoperasi, ijab kabul keduanya digelar di kediaman Winata. Sagita tak mempermasalahkan, bahkan sangat menyambut baik. Sebuah acara yang sangat sederhana karena hanya dihadiri Mahespati dan mamanya, karyawan di rumah Winata dan Lianz Boutique, serta beberapa orang dari Gang Purnama sebagai perwakilan pihak keluarga laki-laki--dalam hal ini Andam, Kanala, Chika, dan Duo Tiang Listrik.

Acara syukuran lebih meriah tergelar beberapa bulan kemudian, setelah Marlian dinyatakan sembuh total, di kediaman mereka. Rumah Pak Cakra. Hunian di mana Andam menghabiskan masa-masa remaja. Hunian yang mereka bangun bersama dengan keringat dan air mata. Hunian yang sempat lengang sepuluh tahun.

Walau sebelah hati Marlian merasa berat karena harus meninggalkan Sagita sendirian.

"Tante Lian enggak perlu khawatir soal Sagita. Kan, enggak lama lagi ada yang bakal nemenin dia bobo di rumah itu. Nanti akan segera ramai oleh suara anak-anak. Iya, kan, Yang?" Mahespati mengerling jail ke arah Sagita yang justru menyikut rusuknya.

"Enggak usah sok romantis."

Mahespati memberengut sembari mengusap bagian rusuk yang kena sikut. Sakit, euy!

"Rumah Mami bukan di sini. Rumah Mami yang sesungguhnya, ya, dengan Om Cakra dan Mbak Andam." Digenggamnya kedua tangan Marlian. "Lagian, aku bisa main ke sana kapan aja, 'kan? Kalau Mami kangen Gita, Mami bisa langsung hubungi Gita. Nanti, Gita langsung ke sana."

"Makasih, ya, Git. Makasih sudah jadi teman Mami selama ini." Pelukan hangatnya mengungkung Sagita, memberi nyaman tersendiri untuk wanita itu.

"Itu sudah tugas Gita. Mana ada anak yang mau meninggalkan ibunya dalam kesedihan, 'kan? Mami adalah ibu Sagita. Sebagai anak, Sagita tentu harus menjaga Mami sebaik mungkin." Wanita itu mengelus perlahan punggung sang mami yang mulai lebih berisi, tak seringkih beberapa minggu kemarin.

Tuhan tidak pernah meninggalkan hamba-Nya meski sang hamba kerap melupakan keberadaan Sang Raja Semesta mereka. Segala yang pernah buruk akan membaik seiring hati yang mau menerima dengan ikhlas dan berjuang memperbaiki; menurunkan ego untuk melihat lebih baik bahwa semuanya bisa terselesaikan dengan kepala dingin.

"Mami akan sangat senang kalau kamu bisa tinggal dengan kami, Git."

Sagita tersenyum, tetapi menggeleng. "Rumah Sagita di sini. Lagian, kalau Sagita pindah ke sana, bagaimana Mbak Jum? Bagaimana dengan Pak Husin? Bagaimana dengan Lianz Boutique? Kan, harus ada yang handle kerjaan dan karyawan di sini, Mam."

Leaf LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang