Surat 26

62 16 0
                                    


Sagita menatap lekat kalender duduk di meja kamar. Tepatnya ke arah tanggal yang sudah dia lingkari yang mana tidak lebih dari satu minggu lagi. Semua persiapan telah rampung. Stok baju dan segala keperluan camping telah jauh-jauh hari disusun. Setelah bertahun-tahun hanya menjadi impian, akhirnya Sagita akan bisa merasakan bermalam di alam terbuka.

"Kamu bawa baju seperlunya aja, Git. O, bawa powerbank kalau ada biar enggak saling pinjam sama yang di sini. Urusan tenda dan lain-lain biar Mbak Andam dan teman di sini yang pikirin."

Untuk pertama kali setelah berbulan-bulan tak bertemu, Sagita dapat berkunjung ke rumah wanita itu. Rumah yang selalu dia sebut sebagai rumah kami. Rumah kebanggaan Andamuthi Cakralian.

"Tunggu Gita, ya, Mbak Andam." Senyumnya merekah sehangat mentari pukul tujuh pagi.

***

Marlian menghentikan langkah saat hendak melewati kamar Sagita. Kebetulan, pintu ruangan wanita itu terbuka. Marlian melongok sedikit untuk melihat apa yang sedang dilakukan putri satu-satunya Winata. Senyum merekah simpul di bibir paruh bayanya ketika melihat Sagita begitu energik memasukkan baju-baju ke ransel yang cukup besar.

Jadi, dia benar-benar akan berkunjung ke sana?

Karena tak ingin mengganggu keasyikan Sagita, Marlian melanjutkan langkah ke kamar yang tidak jauh dari kamar wanita itu. Kamar yang beberapa bulan lalu masih dihuni oleh putri semata wayangnya. Kamar yang kini begitu dingin saat tubuh senja Marlian berbaring di ranjang king size tersebut.

Disembunyikan bagaimanapun, rindu tetaplah rindu yang adanya tak 'kan mudah dipalingkan dari sang pencecap. Dipungkiri bagaimanapun, Andam tetaplah putrinya, darah daging yang dia lahirkan dengan mempertaruhkan nyawa. Kembali berjauhan setelah sepuluh tahun berhasil 'menguasai'-nya ternyata tetap menimbulkan perih. Rindunya kepada sang gadis kecil benar-benar menghentak setiap waktu.

Andam, Ibu merindukanmu.

Tubuhnya meringkuk di ranjang yang ditinggalkan Andam.

***

Meski bukan untuk pertama kali, tetap saja, Andam selalu merasa kagum jika kembali ke tempat tersebut. Alun-alun kecamatan menjelang gelaran Maulid akan ramai sejak tanggal 1 Rabiul Awwal. Sebuah tradisi turun-temurun yang memang tidak pernah tidak digelar. Ya, meski tingkat keramaian untuk tahun ini agak berkurang karena pandemi yang belum kunjung berakhir.

"Aku jadi inget kejadian dulu pas ke sini bareng kamu, Yodha, dan Gema."

Kanala menengok wanita yang beriringan langkah di samping kanan. "Nyusahin."

"Ha ha ha. Ya, mau gimana? Otakku kalau urusan denah, tuh, enggak bisa diajak kerja sama."

"Untung inisiatif Gema jalan sampai mau nyari ke arena bianglala yang lumayan jauh lokasinya dari tugu masuk." Kanala sangat ingat hari itu.

Mereka kelabakan mencari Andam yang tiba-tiba tak bersama mereka. Bahkan, di mana wanita itu menghilang saat itu pun, mereka tak tahu. Ramainya manusia memberi jarak di antara mereka sehingga luput memperhatikan.

Keduanya menghentikan langkah di depan gerobak bakso bakar. Andam memilih tiga tusuk berisi masing-masing tiga bakso kecil dan satu bakso isi daging mercon serta dua tusuk daging kepiting dan dua tusuk sosis sapi. Porsi menu yang juga dipilih Kanala.

Sambil menunggu proses pembakaran, keduanya beranjak ke gerobak di samping gerobak bakso bakar yang tidak lain pedagang bihun jambak. Mereka memesan masing-masing lima tusuk. Tidak jauh dari pedagang bihun jambak, terdapat gerobak es jelly. Tentu tidak lengkap kudapan mereka tanpa minuman yang menyegarkan, 'kan? Maka, kedua wanita itu pun menghampiri pedagang es jelly; memilih varian es susu dengan topping jelly, kolang-kaling, dan rumput laut.

Leaf LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang