Surat 6

122 24 4
                                    

Sagita menemukan meja makan pagi ini kembali kosong. Lagi-lagi, Marlian tak keluar kamar untuk sarapan. Sudah hampir seminggu. Bagaimana bisa perut perempuan itu tahan hanya dengan minum dan makan apel?

Lebih dulu diletakkan hand bag ke kursi lalu menyambangi dapur kotor untuk menemui Mbak Jum.

"Nyonya sudah minta tambahan apel ke Mbak Jum?" Tanpa basa-basi Sagita bertanya.

Mbak Jum yang sedang menghadap bak cuci piring segera menoleh saat mendengar majikan mudanya. "Belum, sih, Non. Ibu belum minta dibawakan apel lagi."

Astaga! Seharusnya, paling maksimal stok apel itu bertahan kemarin siang. Kalau Marlian tidak meminta dibawakan apel baru, berarti perempuan itu belum makan sama sekali sejak tadi malam.

Sagita bergegas menaiki tangga untuk mencapai kamar Marlian yang berada di lantai dua. Menatap sebentar pintu bertuliskan nama Andamuthi Cakralian yang berada di ujung koridor, berseberangan dengan kamar sang ibu. Diketuknya pintu beberapa kali saat Sagita sampai.

"Mami? Mami enggak mau sarapan lagi? Apel Mami udah habis, 'kan? Ayo sarapan."

Tidak ada sahutan.

"Mami? Are you okay?" Sagita mulai cemas. Tidak biasanya Marlian tidak langsung menjawab panggilan darinya. Meski tidak membuka pintu, Marlian selalu menyahut jika ada orang yang ingin menemuinya di luar.

Beberapa detik berlalu dan pintu tak kunjung terbuka. Sagita nekat memeriksa knop, tetapi terkunci. Astaga! Apa yang dipikirkan perempuan itu?

Kembali Sagita bergegas turun untuk mengambil kunci serep yang selalu tersimpan di nakas ruang keluarga. Langkahnya lebar-lebar menaiki kembali anak tangga. Mbak Jum yang baru selesai mencuci bekas masak sampai terheran-heran. Namun, naluri keibuannya muncul. Cemas mulai merambati pula perempuan yang usianya tidak berbeda jauh dengan Marlian. Langkahnya lantas menaiki anak tangga untuk bergabung dengan Sagita.

"Kenapa, Non?"

"Mami enggak nyahut. Saya takut terjadi apa-apa." Panik membuat gerak tangan menjadi tidak maksimal. Membuka pintu seharusnya tidak sesulit itu.

Butuh beberapa detik sampai akhirnya Sagita berhasil membuka pintu kamar Marlian. Gelap menyambut tatapan wanita 25 tahun tersebut. Sagita meraih ponsel untuk menyalakan senter agar bisa menemukan sakelar. Begitu lampu berhasil dinyalakan, Sagita bergegas menghampiri ranjang.

"Mami?"

Perempuan itu tak menyahut.

"Mami tidur?" Sagita bahkan menggoyang lembut lengan Marlian, tetapi sama sekali tak membuat perempuan itu menyahut.

Selelap-lelapnya Marlian kalau tidur, perempuan itu akan segera terbangun jika ada yang menyenggol. Bahkan kalau hanya tidur, seharusnya pintu dapat terbuka sejak tadi atau perempuan itu menyahuti panggilan Sagita.

Marlian tidak tidur. Marlian tergeletak tak berdaya karena tak sadarkan diri. Disentuhnya pergelangan dan pangkal leher bagian kanan. Denyut yang terasa begitu samar. Suhu tubuh perempuan itu pun masih cukup hangat. Lega sekaligus khawatir bercampur dalam dada Sagita.

"Mbak Jum, tolong panggil Pak Husin kemari."

"Baik, Non." Tergesa Mbak Jum keluar dan menuruni tangga. Perempuan itu memanggil sopir pribadi yang dipekerjakan khusus untuk Sagita.

"Ada apa, Mbak Jum? Kenapa buru-buru begitu?"

"Nyonya ... ah, tahulah. Pokoknya, ikut saja dulu. Nanti kamu tahu."

Dalam ketidakmengertian, Pak Husin mengekori langkah Mbak Jum.

Di dalam kamar, Sagita masih berusaha membangunkan Marlian. Berkali-kali merangsang dengan mencubit beberapa bagian tubuh. Diangkatnya pula bagian kaki agar lebih tinggi dari posisi jantung. Sagita berharap bahwa ibu tirinya bisa segera sadar. Wanita itu tak ingin membayangkan sesuatu yang buruk terjadi kepadanya.

Leaf LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang