Surat 41

94 16 0
                                    

(Andam's PoV)
*
*
*


Aku mematut diri di kaca lemari yang besarnya setengah tubuh orang dewasa. Sudah oke. Kebaya berwarna lilac yang kupilih cukup cocok dengan kulitku. Padu padan dengan kain jarik berwarna dasar putih dengan motif swastika lilac pun cukup serasi. Ya, setidaknya penampilan hari ini cukup memuaskan. Aku tinggal menunggu Kanala karena kami janjian ke rumah Tante Dewi sama-sama untuk menyelesaikan riasan.

Ketukan di pintu mengalihkan perhatianku. Ibu berdiri di sana sambil tersenyum simpul melihat penampilan putrinya.

"Anak Ibu cantik sekali." Beliau menyender di kosen sambil menyilangkan kedua lengan di depan dada.

"Terima kasih, Ibu. Ya, siapa dulu ibunya, 'kan?" Aku mengerling, mencoba mengusir rasa tak enak hati selama berminggu-minggu belakangan usai kabar perceraian mereka.

Mau bagaimana lagi? Keputusan sudah diambil tanpa melibatkan aku. Ketuk palu hakim pun sudah dibunyikan dan mengizinkan mereka untuk berpisah. Alasannya? Aku tak ingin menanyakan ini. Buat apa? Toh, mereka sudah bercerai. Kalaupun memang ada kaitan dengan orang ketiga, ya, sudahlah.

Hidup orang siapa yang tahu. Perasaan setiap manusia siapa yang mengerti. Ada tidak adanya lagi cinta di hati seseorang adalah keputusan masing-masing. Apa iya aku harus menggugat hal tersebut? Jahat sekali kalau sampai kulakukan.

Meski aku bisa melihat jika yang paling terluka di sini adalah Ayah. Ditilik dari bagaimana ekspresi mereka, sepertinya Ibu yang berkemungkinan memiliki pria idaman lain. Aku yakin Ayah tidak melakukannya. Aku hidup dengan lelaki empat puluhan tahun itu. Aku tahu dengan siapa saja beliau berinteraksi. Jadi, aku tahu betul bahwa Ayah tak memiliki cinta lain.

Kasihnya, cintanya, dan hatinya hanya untuk Ibu seorang.

Suara klakson menyela kami. Aku bergegas mengambil tas ransel lantas pamit ke Ibu karena Kanala sudah menunggu di depan sana. Sebenarnya, masih terlalu pagi. Acara perpisahan sendiri dimulai pukul sembilan. Masih dua jam setengah dan itu cukup untuk proses make up kami. Tante Dewi sudah memberi jaminan bahwa beliau bisa bekerja cepat dengan hasil memuaskan. Ya, mari kita lihat.

"Andam pamit dulu." Kucium takzim tangan kanan Ibu.

"Hati-hati. Bawa sepeda?"

Aku menggeleng. "Bonceng motornya Gema. Ya, kali, Bu, udah cantik-cantik pakai kebaya naiknya sepeda?" Aku bergurau ringan.

"Benar juga." Ibu terkekeh singkat. "Ya, sudah. Sana berangkat. Have fun, ya, Nduk."

Aku mengangguk lantas bergegas menghampiri Kanala. Sesuai kesepakatan kemarin, kami memang berboncengan. Aku dengan Gema dan Kanala dengan Yodha. Ya, formasi yang biasa.

"Keren juga kalian pakai setelan jas begitu." Aku bergantian menunjuk Gema dan Yodha.

Kedua cowok itu menaikturunkan alis sembari merapikan kerah yang sebenarnya sudah rapi.

"Enggak usah dipuji. Entar mereka terbang. Yuklah, buru!" Kanala mencebik.

Tak lagi banyak cakap, aku naik ke jok belakang motor Gema. Motor melaju meninggalkan depan pagar rumah Pak Cakra-ku.

***

Tante Dewi menilik kembali hasil karyanya; membolak-balik aku dan Kanala berkali-kali untuk mengepaskan riasan sesuai dress code dan usia. Untukku pribadi, karya Tante Dewi di wajah kami ini sangat pas. Tidak menor, tidak pula pucat. Porsi yang sesuai dengan usia. Aku sendiri request riasan yang jangan sampai membuatku terlihat seperti ibu-ibu usia empat puluhan tahun dengan pipi dan bibir yang sama merahnya.

Leaf LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang