Sejak tadi, Chika sudah misuh-misuh. Pasalnya, gadis itu sudah harus berangkat, tetapi Gema masih duduk santai di balai-balai depan rumah. Heran. Biasanya, justru pria itu yang selalu memburu-buru Chika agar segera bersiap. Kesambet apa omnya pagi ini?
"Abang nungguin apaan, sih? Udah setengah enam. Sekolah Chika, kan, lumayan jauh. Jam enam udah harus sampai karena ada pengayaan pagi." Chika sampai berdecak berkali-kali. Tahu begini, seharusnya dia minta indekos saja di dekat sekolah.
Pernah Chika meminta kepada sang nenek untuk diizinkan indekos di dekat sekolah agar memudahkan perjalanan. Namun, Gema tak memberi izin dengan jaminan bahwa pria itu yang akan mengantar langsung Chika ke sekolah. Setiap pagi. Tanpa ngaret. Gema tidak mau Chika terjerumus ke pergaulan yang tidak seharusnya. Pria itu khawatir tidak bisa mengontrol circle pertemanan Chika kalau sang keponakan jauh dari rumah.
Gema tidak menjawab dan malah menoleh ke jam dinding. Pukul lima lebih empat puluh menit. Senyum menyungging di wajahnya. Dua puluh menit menuju sekolah Chika bukanlah hal sulit.
"Yuk, berangkat!" Gema meraih jaket kulit lalu mengenakannya sambil berjalan keluar.
Chika hanya bisa menghela napas. Sepertinya, dugaan gadis itu tidak salah. Gema kesambet sesuatu.
Sebelum menyusul Gema, lebih dulu Chika masuk ke kamar sang nenek yang kembali terserang encok. Syukurnya, untuk pagi ini, perempuan paruh baya itu sudah lebih baik.
"Chika berangkat, Oma." Diraihnya tangan sang nenek lalu mencium dengan takzim.
"Tumben baru mau berangkat."
"Tau, tuh, Bang Gema. Lagi aneh dia, Oma."
"Abis dari mana dia kemarin-kemarin sampe kesambet begitu?"
Chika menahan tawa. Sang nenek memang kerap mem-bully anak bungsunya sendiri. Tidak peduli waktu beranjak sudah sangat jauh, Gema tetap menjadi anak yang lebih sering dicandai ketimbang dipuji-puji setinggi langit.
"Tahu, deh. Kesambet demit pohon randu di tikungan jalan masuk Gang Purnama III kayaknya."
Sang nenek menepuk pelan lengan Chika. "Mesti Oma sembur pakai air garam nanti kalau abangmu balik."
Chika terbahak sambil keluar kamar. Tubuhnya setengah berlari menghampiri Gema yang sudah berisik mengklakson. Kan? Yang menunda keberangkatan siapa, yang heboh siapa sekarang.
Bukan tanpa alasan Gema baru mengantar Chika pada jam lima lebih empat puluhan menit. Ada sesuatu yang ingin dia perhatikan dari sebuah rumah di jalan yang setiap pagi dia lewati. Sebuah kebiasaan yang sempat berhenti selama satu dekade karena pemiliknya pergi begitu saja tanpa permisi.
***
Begitu sepeda motor berhenti di depan gerbang sekolah, Chika segera turun lalu memukuli Gema dengan tas jinjing berisi beberapa buku cetak tebal pelajaran eksakta. Jika saja gadis itu menderita lemah jantung, mungkin sekarang Chika akan berada di rumah sakit untuk perawatan intensif. Omnya benar-benar gila tadi.
"Abang mau bunuh Chika, ya? Kok, naik motor sengebut itu? Abang mau Chika mati muda?" Wajah gadis itu memerah sambil memelotot galak ke Gema.
"Yang penting nyampe sekolah tepat waktu." Gema mengelus-elus bekas pukulan Chika. Keponakannya kalau menyiksa tidak pernah tanggung-tanggung.
"Ya, enggak begitu caranya!" Chika benar-benar kesal. Untung nyawanya masih diberi kesempatan untuk hidup. Sepanjang perjalanan tadi saja, tidak henti-hentinya gadis itu berdoa; meminta supaya diberi keselamatan sampai tujuan.
"Udah sana masuk. Tuh, udah jam enam." Gema menunjuk jam besar yang menempel di dinding bagian depan ruang Kepala Sekolah yang menghadap gerbang utama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Leaf Letter
RomanceAndam kembali. Wanita itu memutuskan untuk menebus kerinduan sang ayah yang dia tinggalkan sepuluh tahun lalu. Kepulangannya ke rumah tempat dia tumbuh hingga usia 18 tahun membuka kembali memori lama. Dari dalam kotak berwarna merah keoranyean, An...