Natasha POV
"Kau ingat pernah menyebut nama Luca?" Arion bertanya. Aku mengangguk.
"Itu nama masa kecil ku. Nama itu dulu punya kenangan manis. Kedua orang tua yang menyayangi ku dan juga Sarah, kakak ku. Tapi kenangan manis itu perlahan hilang dari ingatan ku karena Da-bajingan itu-bercinta dengan wanita lain di depan mata ku. Saat itu aku masih berusia 10 tahun. Aku mengadukan itu pada istrinya." Senyum dan tawa miris tergambar di wajahnya.
"Istrinya?"
"Ya. Mommy ku."
Aku menelan ludah dengan susah payah mendengar ia menyebutkan Ibu nya sendiri dengan sebutan Istri Ayahnya.
"Karena ku, mereka setiap malam bertengkar. Dan aku selalu mendengar barang-barang pecah dari kamar mereka. Saat ku beranikan diri untuk mengintip dari celah lubang kunci, aku melihat bajingan itu mencekik istrinya. Aku ketakutan dan segera bersembunyi di dalam lemari. Nilai akademik ku mulai turun. Konsentrasi ku pecah. Dan saat itu aku bertemu seseorang yang ku anggap sebagai Dewa karena menolong ku menghilangkan rasa sakit. Dia pria kaya. Bertahun-tahun aku mengonsumsi obat yang ia berikan secara gratis. Prestasi ku kembali, namun aku terus ketergantungan obat itu. Saat usia 17 tahun, dia memberiku sebatang rokok yang baru ku tau isinya adalah ganja saat berusia 20 tahun."
Miris. Aku menatap matanya yang menatap kosong plafon kamar.
"Dia mulai meminta bayaran saat aku berusia 20 tahun. Setiap kali aku minta obat atau rokok itu, ia akan meminta bayaran. Awalnya aku mencuri, namun hanya berhasil beberapa kali dan aku merasa lelah. Saat ulang tahun ke 21, aku pergi ke klub. Aku meminum sisa minuman para petinggi-petinggi itu. Tubuh ku panas karena alkohol. Aku-" dia diam sejenak dan menatap ku. "-aku memperkosa seorang wanita dan membunuhnya. Anehnya sampai saat ini kasus itu tidak pernah muncul di media."
Aku merinding sekarang. Dunianya kelam. Ia menganggap nama itu kelam. Aku masih penasaran kenapa namanya berubah. Aku masih penasaran dengan keluarganya. Aku masih penasaran dengan banyak hal tentang dirinya.
"Ketakutan karena mungkin bisa saja ketahuan itu mulai hilang, berganti menjadi obsesi. Aku bisa membunuh siapa saja yang ku rasa mengganggu ku. Sampai suatu hari Sarah pulang dari study nya. Dia menangis melihat ku pulang penuh darah karena dia kira aku yang terluka. Tapi dia jadi marah saat mengetahui yang sebenarnya dan mulai membawaku ke rehabilitasi. Bertahun-tahun aku di rehabilitasi, kecanduan obat-obatan ku berkurang. Aku tidak lagi merokok. Tapi obsesi untuk membunuh seseorang masih ada. Dan setiap kali aku ingin membunuh seseorang, aku selalu teringat wajah Sarah yang menangis ketakutan. Aku suka melihat rasa takut orang lain, tapi tidak dengan Sarah. Jadi aku selalu memukuli orang-orang sampai sekarat."
Ia tersenyum menatap ku. Dan aku hampir menangis sekarang. Menangis karena kasian dengan dirinya dan menangis karena ketakutan. Ia seperti menyadari perubahan ekspresi ku, Arion menggeser tubuhnya menjauh. Ia duduk di tepi ranjang dengan kaki yang sudah menyentuh lantai.
"Sekarang kau takut, bukan? Sudah ku katakan jangan jatuh cinta pada ku, Natasha."
Ia bangkit namun aku berhasil menggerakkan tubuh ku dan menarik ujung t-shirt nya.
"K-kau mau k-kemana?"
Ia berbalik melepaskan genggaman ku di t-shirt nya dan menggenggam tangan ku yang terlihat kecil di tangannya.
Arion kembali mendekat ke kasur. Ia menumpukan lututnya di ujung ranjang. Menghapus air mata yang ternyata sudah membasahi pipi ku.
"Ssstt. Jangan menangis, Natasha. Aku tidak akan menyakiti mu."
"Jangan pergi."
Aku berbisik ditengah isak tangis yang mulai membuat ku sesak. Aku masih merasakan jempolnya mengusap air mata ku.
"Jangan menangis. Bajingan seperti ku tidak pantas untuk menerima air mata mu."
Aku menggeleng cepat. Menarik tubuhnya yang akhirnya kembali duduk, memeluk lehernya erat. Aku merasakan tangannya di punggung ku.
Entah berapa lama aku memeluknya. Aku tertidur dan kini terbangun dengan ketakutan yang sempat melandaku. Namun segera redah saat ku liat wajahnya sedang tertidur.
Matanya masih tertutup, namun aku tau bahwa ia sudah bangun. Arion sedikit menurunkan tubuhnya, mensejajarkan wajahnya dengan ku. Matanya terbuka, mata kucing itu menatap ku dengan lembut. Aku mengunci dirinya dengan tanganku di lehernya.
Ia mengecup bibir ku sekali, dua kali, tiga kali dan berkali-kali membuat ku geli karena rambut-rambut halus di rahang nya.
"Aku mau ke kamar mandi." Bisiknya.
"Aku ikut."
"Hmm?"
Aku menenggelamkan wajahku. Mengeratkan pelukan di lehernya. Arion mengubah posisi kami dan kini berada di atas ku.
"Aku bisa terkena penyakit jika menahan untuk buang air kecil, kau tau."
Aku melepaskan tangan ku. Arion segera bangkit dan menuju kamar mandi. Aku seperti kehilangan rasa malu sekarang. Dan itu tidak penting untuk ku. Aku akan mempertahankan Arion di sini. Sebisa ku.
Aku bangkit dari kasur dan merapikannya. Meraih ponsel dan mengabari di grup bahwa aku hari ini izin. Aku menelepon Bos ku yang baru dan mengatakan bahwa aku sedang ada urusan mendadak. Beruntungnya pria paruh baya itu baik hati. Meletakkan kembali ponsel ku di nakas, di sebelah ponsel baru Arion. Ia baru membeli ponsel itu kemarin.
Aku melangkah menuju dapur. Sayur sup Ibu masih tersisa. Aku tau kalau Arion tidak suka makan nasi. Aku memanaskan sup. Arion menghampiri ku dengan wajah yang sudah lebih segar.
Tangannya melingkar di pinggangku, membuat pergerakan ku jadi tidak bebas.
"Apa yang biasa kau makan?"
"Keju." Balasnya singkat.
Ia menyandarkan dagunya di puncak kepala ku. Aku tidak pendek, dia yang ketinggian. Tinggi ku 165 cm sedangkan Arion mungkin 185 cm.
Sup selesai di panaskan setelah aku bersusah payah karena ada bayi koala yang menempel di punggung ku. Aku membuat sandwich keju kesukaannya dan membawa serta Arion ke ruang tv.
"Aku besok harus kembali ke NY." Ucapnya tiba-tiba.
Ia menidurkan kepalanya di paha ku. Wajahnya menciumi perut ku di balik piyama tidur yang masih ku gunakan.
"Hanya akan menyelesaikan masalah ku. Aku tidak meninggalkan mu." Lanjutnya seolah bisa membaca pikiranku.
"T-tapi aku takut kau tak kembali." Aku benar-benar merasa cemas. Biasanya tidak, tapi kali ini aku benar-benar takut.
Ia mendudukkan dirinya dan menatap ku, membelakangi tv.
"Aku akan kembali. Aku akan selalu menemukan jalan menuju ke arah mu."
"Apa kau akan memenuhi janji mu?"
Ia mengangguk meyakinkan. Tapi sepertinya ia tau kalau aku masih ragu. Arion memutar duduknya menghadap tv dan mengangkat tubuhku untuk duduk di pangkuannya.
Aku mencium bibirnya, namun Arion menahan tengkuk ku. Memperdalam ciuman kami. Aku mengubah duduk ku menjadi mengangkanginya. Ia membuka piyama ku. Membuat ku sudah tanpa pakaian di bagian atas. Aku juga melakukan hal yang sama padanya.
"Aku sudah melakukan pengobatan selama 5 bulan terakhir. Aku tidak tau apakah itu benar berhasil atau tidak." Arion mengecup wajah ku.
Aku tidak menjawab ucapannya. Aku tidak tau pengobatan apa yang ia maksud. Yang kulakukan yaitu kembali mencium bibirnya. Menyalurkan rasa frustasi ku karena takut kehilangannya.
Hari ini benar-benar kami habiskan hanya untuk bercerita dan bercinta. Aku tidak yakin apakah besok bisa ke kantor atau tidak.
Aku menatap jam dinding, sudah pukul 1 pagi. Arion sudah tertidur memelukku erat. Pagi nanti ia akan pulang ke NY. Entah kenapa perasaan ku sangat tidak mengizinkannya pergi.
Terlalu lelah berpikir, aku ketiduran.
🍁🍁🍁
09 Februari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
We Shouldn't... [END]
RomanceAku tidak akan menyakiti mu. Tidak akan pernah. ⚠️🔞 Mature Content 🔞⚠️ 21+ Start : 20 January 2022 Finish : 23 Februari 2022