Pagi itu datang sangat awal dibanding hari-hari biasanya. Dua orang sudah bangun dari tempat tidurnya dan bersiap untuk pergi dari kota yang sedang dijajah.
Theo adalah seorang manusia, dan istrinya adalah elf. Itu berarti anak mereka adalah seorang campuran, atau yang biasa disebut dengan half-elf. Rithriel adalah nama istrinya, dan Matilda adalah nama dari satu-satunya anak perempuan yang mereka miliki. Gadis itu masih berusia delapan tahun. Masih sangat muda, hidupnya masih sangat panjang dan mampu untuk melewati semuanya agar dapat tetap hidup.
Ayam belum berkokok ketika Rithriel membangunkan Matilda yang masih terlelap di ranjang tempatnya tidur selama beberapa tahun terakhir. Benar, dia tidak dilahirkan di sini. Justru, Theo dan Rithriel bertemu dan menikah saat mereka masih berada di Akademi Palawan. Dan lagi, mereka berdua adalah Penyihir dari Palawan. Mereka memiliki anak setelah beberapa tahun menikah. Peperangan yang semakin panas membuat mereka harus berpindah dan membawa anak yang masih sangat belia. Namun prediksi berkata lain, tempat yang seharusnya dapat disebut aman malah dijajah juga.
"Nak, ayo bangun. Kamu akan ikut bersama Mama dan Papa." Rithriel dengan lembut mengusap anaknya selagi menggendongnya.
Dalam dekapannya tersebut, langkah kaki dari sang ibu membuat gadis kecil itu bangun dari tidurnya yang lelap. Perlahan, cahaya masuk dan memenuhi penglihatannya. Cahaya masih terlalu redup untuk dapat disimpulkan sebagai pagi hari, namun tidak ada pertanyaan yang keluar dari mulut gadis itu setelah kesadarannya benar-benar kembali. Dia hanya memperhatikan sekitar dengan saksama. Otak kecilnya belum cukup matang untuk menyimpulkan banyak hal yang sedang terjadi pada waktu bersamaan di sekitarnya.
Theo dan Rithriel sama-sama sibuk dengan apa yang mereka harus lakukan. Perjalanan ini jauh dan mereka harus dapat bergerak dengan cepat. Oleh karena itu, mereka hanya membawa barang seperlunya.
Sebuah ketukan terdengar di pintu depan rumah. Theo langsung buru-buru membukanya. Rithriel yang sedang sibuk memilih barang masih bisa mengintip ke arah pintu dan melihat siapa tamu yang datang. Itu adalah Aden dan Dayron.
"Tuan Theo." Aden menyapa, diikuti oleh Dayron dengan kalimat yang sama.
"Tuan Theo."
"Sudah kubilang, kau diam saja!" Bisik Aden pada Dayron, kemudian kembali pada Theo. "Apakah tuan sudah siap? Kita bisa berangkat sekarang. Para tentara yang berjaga sedang istirahat dan kita memiliki jeda sekitar 30 menit untuk keluar dari kota dengan aman."
Theo maju satu langkah dan menengok ke kiri dan kanan untuk memastikan situasi di sekitar rumah. "Dan Para Pembisik?"
"Para Pembisik sedang tidak ada."
"Bagus." Theo kembali mundur dan masuk ke dalam rumah, lalu berbalik. Tatapannya tertuju pada istri dan anaknya yang berada tidak jauh darinya. "Kau sudah siap?"
"Ya!" Rithriel menyambar tas yang baru saja dia isi dengan beberapa barang yang dia butuhkan sementara satu tangan lainnya masih sibuk menggendong Matilda.
"Bagus!" Theo sedikit bersemangat, lalu mengambil tas yang sudah dia siapkan sebelumnya.
"Nona Rithriel, selamat pagi!" sapa Dayron dengan senyum lebar di bibirnya.
"Selamat pagi juga, Nona Rithriel!" seru Aden tak kalah semangat. "Bagaimana kabar Anda?"
"Selamat pagi juga, anak-anak!" Balasnya. "Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah menanyakan."
"Oh! Si kecil Matilda sudah besar rupanya!" Dayron mendekati Rithriel, dan tatapannya dia khususkan untuk Matilda yang berada di gendongan ibunya. Sudah beberapa pekan sejak pertemuannya dengan Matilda karena kesibukan yang terjadi selama Treaston menyerang Edria. "Paman Dayron merindukanmu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Nightingale Whisperers
Fantasía[Book Three: The Chosen Saga] [a i d ó n i] [proses revisi] [Complete] [harap membaca The Runaway Chosen & The King's Move terlebih dahulu] . ::.. Korrona runtuh, pada akhirnya. Hal itu tidak dapat dielakkan. Sudut Nazrrog semakin menyempit selagi K...