32 - Amfivolía (Part 1)

3 2 0
                                    

Meski jumlah partisipan dari pertarungan sedikit dimenangkan oleh Audr, bukan berarti Elite Thirteen tidak memiliki keuntungan. Justru sebaliknya, gadis kecil bernama Matilda itu bisa menjadi hal yang memberatkan pertarungan untuk pihak Audr.

Aelis yang menghadapi Vann dan Aesa sekaligus rupanya bukan menjadi tandingan mereka. Dia bisa menghajar pemanah dan penyihir itu tanpa susah payah. Sang Pembunuh itu bisa berbaur dengan sekitar dengan memanfaatkan ilmu sihir yang dia miliki, membuat kedua musuhnya kesusahan untuk mengidentifikasi keberadaan cantra itu.

"Vann, kau mundur saja, biar aku yang tangani ini," Aesa memegang pundak Vann yang sudah bercampur dengan darah di balik pakaian robeknya. Napas yang memburu dari kedua orang itu menjadi satu pertanda tidak baik. "Kau tidak apa-apa? Vann?" Tatapannya beralih pada Vann yang berada di sebelahnya.

Pria itu menyeringai dan menggapai tangan yang berada di pundaknya, kemudian menurunkannya. "Apa kau bercanda? Kau sendiri juga babak belur," dia tertawa, lalu mundur dan memantapkan pegangannya terhadap busur yang dia bawa.

"Ini benar-benar situasi yang buruk untuk kita."

Mata Aesa masih mencari keberadaan Aelis. Tidak jauh dari tempatnya berada, pertarungan antara Audr dan Anerea mulai semakin serius. Sedangkan dari arah lain, Igvir dan Valgard masih beradu pedang dengan gerakan yang luar biasa cepat. Griselda dan Elsa pun terlihat sedang beradu kecepatan untuk saling menghindar dan menyerang.

Perhatiannya kemudian kembali pada siapa dia harus berfokus. Gerakan yang dimiliki Aelis sangat licik dan sulit untuk dideteksi. Dan meski memiliki kesamaan ras, ilmu sihir yang mereka miliki tidaklah sama, itu salah satu hal yang membuat Aesa sulit untuk mendeteksi Aelis.

"Sudah lelah?" Suara dari Aelis muncul dari belakang tubuh Aesa. Satu tikaman dari Aelis dengan menggunakan belati bayang menjadi kejutan untuk Aesa.

Aesa kemudian mendorong tubuh Aelis dari dirinya dengan menciptakan embusan angin yang kuat, di mana memberi mereka dua jarak yang cukup signifikan. Vann yang sudah bersiap dengan busurnya langsung menembakkan anak panah ke arah Aelis.

Sialnya, anak panah tersebut hanya menyerempet bulu Aelis.

Tiga buah belati bayangan lalu dilempar oleh Aelis kepada Vann. Beruntungnya, hanya satu yang mengenai tubuh Vann, sedangkan dua lainnya meleset. Luka baru tercipta di lengan Vann, darah segar mengucur ketika belati bayangan itu menghilang.

Sampai di sini, Vann sudah tidak mampu untuk bertarung. Tangannya yang terluka kini tidak bisa menggunakan busurnya lagi. Rasa sakit dan panas menjalar bagai api yang membakar daun-daun kering di musim gugur.

~ a i d ó n i ~

Pertarungan antara Audr dan Anerea kian memanas. Keduanya saling beradu keterampilan dan kekuatan dengan memanfaatkan kristal yang mereka miliki. Dan meski Anerea hanya memiliki satu kristal saja, namun sepertinya keterampilannya dalam memanfaatkan relik tersebut masih lebih baik dari Audr.

"Kau lumayan juga," Anerea memberi pujian seraya menyeringai, sementara kedua tangannya dengan terampil merapal sihir. "Tetapi sepertinya tubuhmu sudah sedikit lelah dengan kekuatan dari relik yang kaumiliki." Ketika tangannya terangkat dengan cepat, semburan yang hebat keluar dari bawah pasir. Kegelapan menyerbak seperti racun dalam tubuh. Gemuruh pasir yang membentuk menara memekikkan telinga.

Tubuh Audr diterpa oleh gumpalan pasir yang masih meninggi. Namun di dalamnya, Audr sudah menciptakan gelembung untuk melindunginya dari pasir-pasir yang mengurungnya di dalam. Dia melebarkan kedua tangannya, kemudian gelembung itu membesar dan memecah pasir yang memerangkapnya.

The Nightingale WhisperersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang