05 - Batas Waktu

198 18 0
                                    

Rumah megah nan luas berwarna mocca terkesan elegan. Ada bagian taman di sana, terlihat sekali sangat dirawat hingga tidak ada rumput teki yang tumbuh di sana.

Naluri memandangnya dengan takjub, kedua kakinya melangkah perlahan ke dalam rumah itu. Dadanya gemetar saat pertama kali langkahnya menginjak rumah suaminya.

Langkahnya perlahan mundur saat mengingat permintaannya beberapa menit lalu yang tidak ditanggapi. Bukannya menimpali ucapan sang istri, Khalil malah melajukan mobilnya begitu saja.

"Kenapa?" tanya Khalil menghentikan aksi Naluri. Kedua kakinya seolah terpatri di tempat, tidak ada lagi pergerakan yang sebelumnya dilakukan.

Naluri menggeleng, bibir merah meronanya mencoba untuk melukis lengkungan senyuman, membuat si pemilik wajah berbentuk daun sirih itu lebih memukau.

"Aku enggak bisa." Gadis itu menundukkan kepalanya dalam.

"Kenapa?" tanya Khalil. "Bukannya kamu ingin mencoba mencintai saya dalam tiga puluh hari?"

Pertanyaan Khalil sontak saja, membuat Naluri mendongak memandangi wajahnya tidak percaya. Dari ekspresinya tidak ada kesungguhan, tapi dari ucapannya seolah meyakinkan.

Naluri tidak bisa untuk berkata-kata lagi. Entah kenapa saat permintaan itu terpenuhi ada banyak kupu-kupu yang beterbangan mengangkasa di dalam dadanya.

"Ingin tetap mencobanya?" tanya Khalil menaikkan sebelah alisnya.

Tidak mau melewatkan kesempatan itu, Naluri refleks tersenyum juga kedua matanya berbinar.

Tanpa diduga Naluri meraih jemari Khalil lalu menggenggamnya dengan erat. "Aku akan mencoba mencintaimu dalam tiga puluh hari, meski kamu tidak membalasnya."

Degup jantung Khalil bergemuruh, tapi dia menghela napasnya pelan tuk kembali menetralkannya. Entah apa yang terjadi pada dadanya tidak seperti biasanya.

"Kak ...," panggil Naluri pelan, Khalil menoleh ke sampingnya dan mendapati tatapan dari sang istri sangat dekat. "Terima kasih sudah mengizinkan aku untuk mencintaimu."

Tubuh Khalil seolah menegang, keringat dingin berjatuhan membasahi pelipisnya. Tangannya gemetar saat pertama kali bersentuhan dengan kulit seputih susu dan sedingin salju.

Naluri menyandarkan kepalanya pada dada bidang milik Khalil, meski tingginya tidak terlalu sampai, tapi dia sedikit berjinjit.

"Jangan banyak berharap, Luri," bisik Khalil pelan.

"Aku tidak banyak berharap, hanya saja aku ingin melakukannya. Mengambil tantangan untuk mencintai suami sendiri. Tidak boleh?" tanya Naluri, dia mulai mengendurkan genggamannya.

Entah kenapa, Khalil malah merasa tidak suka jika istrinya melepaskan genggamannya. Dia tidak tahu apa yang terjadi dalam dirinya, lelaki itu merasa membenarkan permintaan Naluri. Mereka sudah sah menjadi suami-istri, mengapa harus diributkan? Apa karena hati yang tidak seirama dengan perasaan?

Naluri kembali diam, menganggap jika perilakunya memang salah. Dia menikah dengan Khalil semata-mata untuk menutupi aib keluarga angkatnya. Seorang pengantin mempelai perempuan melarikan diri dan meninggalkan calon suaminya seorang diri. Dia juga tidak mau jika berita sebesar itu akan tersebar sampai ke ujung dunia.

"Tidak apa." Bergantian, kini Khalil yang menggenggam tangan Naluri dengan erat.

Naluri terdiam, menatap Khalil dengan heran. "Kenapa?"

Khalil tidak menatapnya balik, bahkan ekspresinya datar. "Saya hanya ingin."

Keduanya mulai melangkah masuk ke rumah bak istana itu.

"Dulu saya harap akan mempersilakan ratu saya untuk masuk," ucapnya. "Dan ratu itu Maura."

Genggaman jemari keduanya mengendur, karena Naluri yang tidak lagi tahan untuk mengeratkannya. Sendi-sendi dalam tubuhnya seolah tidak berdaya bersamaan pengucapan Khalil yang mengharapkan Maura menjadi sebagai ratu di rumahnya. Gadis itu menggeleng, membenarkan pengharapan suaminya.

Tidak seharusnya dia menangisi hal ini, karena pernikahan yang tengah dijalaninya hanya drama belaka. Dia tengah berperan menggantikan Maura yang suatu saat pun akan kembali. Merajut bahtera keluarga dengan seorang lelaki yang sangat mencintainya, siapa lagi jika bukan Khalil.

Sebegitu tidak punya hatinya Khalil sampai sekali pun tidak merasakan kejanggalan pada istrinya. Pengucapannya bagai pedang samurai yang menusuk hatinya terasa ngilu amat nyeri sampai rongga terdalam.

Naluri mencoba untuk menguatkan dirinya. Tantangan mencintai seseorang yang hatinya dijaga untuk orang lain memang sangat sulit, dia pula mengerti apa yang dirasa oleh Khalil.

Jika menyadari pernikahan ini, Naluri menjadi teringat pada ustadz muda yang selama ini dicintainya dalam diam. Meski Hanif tidak menyatakan cintanya, tapi gadis itu meyakinkan jika lelaki itu juga menyimpan rasa untuknya. Setiap kali dirinya mendapatkan kesulitan sesuatu saat di pondok, ustadz Hanif memberikan kemudahan untuknya meski melalui orang lain.

Kebanyakan orang yang memberitahu Naluri jika ustadz berparas tampan itu memang menyukainya karena dari sikapnya yang begitu siaga.

Pendapat dari teman-temannya, membuat Naluri semakin percaya jika ustadz muda itu akan menjadi miliknya. Akan tetapi, dia kembali tersadar jika sesuatu yang sudah nampak belum tentu menjadi hak milik. Apalagi saat takdir mempersatukannya dengan calon suami kakaknya.

Semua rencana itu sebelumnya tidak ada dalam benaknya. Bahkan tidak pernah terbayangkan akan menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya sama sekali. Dan lebih parahnya lelaki itu pula mencintai orang lain, yaitu kakak angkatnya sendiri.

"Kita cari, Kak Maura aja?" tanya Naluri menguatkan hatinya. Meski pun dia tidak mencintainya, tapi tetap saja istri mana yang tidak sakit jika mendengar suaminya mencintai orang lain secara terang-terangan.

Khalil melirik istrinya yang juga menatapnya. Manik mata berwana coklat terang bertemu dengan sepasang mata yang begitu tajam menenggelamkan tatapannya. Keduanya saling bersitatap, beradu, tapi hatinya belum saja bersatu.

"Nanti saja. Kamu lelah kan?" tanya Khalil.

Memang benar Naluri sangat lelah dengan keadaan yang memaksanya harus bersikeras menerima segala derita yang akan terjadi suatu saat nanti di masa mendatang.

Meski begitu, tapi Naluri menolak untuk berdiam diri saja. Baginya waktu itu sangat berharga bahkan tidak bernilai meski seharga emas atau berlian sekali pun.

"Kita cari saja sekarang, Kak."

"Kenapa?" Khalil terperangah, sebegitu ingin cepatnya gadis itu bersikeras tuk menemui kakak angkatnya.

"Aku hanya tidak ingin menjadi penghalang di antara kalian, Kak. Jika Kak Maura sudah ditemukan, mungkin akan mudah aku melepaskanmu, Kak." Naluri berargumen sendiri.

"Soal tiga puluh hari itu gimana?" tanya Khalil.

"Akan tetap aku tepati, karena itu janji. Meski kamu tidak mengizinkannya."

PENGGANTI PERAN PENGANTIN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang