17 - Gagal

134 10 0
                                    

Follow akun aku lebih dulu, komen, dan vote ya.
Happy Reading 🤗

***

"Naluri?"

Rika terperangah begitu mendapati adiknya dengan lelaki lain. Kebetulan sekali dia di sana sudah bertemu dengan teman lamanya, melepaskan kerinduan karena sudah bertahun-tahun tidak bertemu juga menikmati secangkir kopi di antara suasana cafe Aesthetic.

Bukan hanya kakak iparnya yang terkejut dengan keberadaan Naluri di cafe tersebut bersama seorang lelaki yang mengenakan baju koko, sepertinya dia pernah melihatnya di pondok pesantren tempat adik iparnya menimba ilmu. Dia pernah beberapa kali ke pondok itu untuk menemui Naluri.

"Kamu ke sini sama siapa? Sama Khalil?" tanya Rika mencoba memastikan, dia melirik ke segala arah mencari lelaki yang disebutnya. Akan tetapi, keberadaan suami sang adik tidak saja terlihat.

Naluri masih saja diam karena dia tidak tahu harus berkata apa, ekor matanya melirik ke arah Ustadz Hanif yang sedari tadi bungkam sambil menunduk.

"Aku sama Ustadz Hanif, Mbak."

Mendengar jawaban dari Naluri membuat Rika mengembuskan napasnya pelan, karena dia tidak bisa berpikir keras hubungan apa yang terjalin di antara mereka, mana mungkin keduanya berhubungan di saat adik iparnya sudah mempunyai suami. Dia menggeleng pelan mencoba menjauhkan pemikiran buruk mengenai hal itu.

"Ada yang mau Mbak bicarakan sama kamu, apa pembicaraan kalian sudah beres?" tanya Rika akhirnya.

"Sudah, Mbak. Naluri pulang bareng Mbak ya." Lagipula wanita itu juga tidak mau berlama-lama dengan Ustadz Hanif setelah lelaki itu mengatakan kejujuran atas apa yang dirasakannya terhadapnya.

Dadanya sedari tadi bertabuh bagai gendang soneta yang tiada berhenti berdendang. Naluri cukup tahu bagaimana kondisi hatinya saat ini, senang bercampur sakit yang dirasakannya. Hatinya berkata jika dia pun memang memendam perasaan yang sama terhadap lelaki di depannya, tapi bagaimana mungkin keduanya bersatu jika janji suci sudah mengikatnya pada suaminya. Walaupun Khalil mengatakannya jika dia akan melepasnya kalau saja Maura kembali ke dalam pelukannya, tapi untuk sekarang Naluri mencoba untuk mengunggulkan hatinya teruntuk imamnya. Dia hanya ingin menjadi istri yang baik untuk suaminya.

"Iya, boleh. Mbak juga bawa mobil kok." Rika tidak sama sekali menampilkan senyumannya, dia justru sebaliknya memberengut kesal apalagi saat kedua matanya beradu pandang dengan Ustadz Hanif.

"Pak ... saya duluan ya." Begitu yang diucapkan Naluri sebagai kata berpamitan.

"Iya boleh. Enggak apa-apa kok, Luri."

Naluri bangkit dari duduknya berjalan seiringan dengan kakak iparnya, dia merasa sangat berat meninggalkan Ustadz Hanif tanpa membalas ucapan sebelumnya mengenai perasaan. Akan tetapi, keberadaan Rika membuat niatnya urung dilakukan.

"Ada hubungan apa kamu sama lelaki itu, Luri?" tanya Rika begitu berada di dalam mobil to the point tanpa basa-basi lebih dulu.

Wanita di sampingnya terperangah mendapati pertanyaan seperti itu dari iparnya. Dia menghela napasnya pelan mencoba menetralkan dirinya.

"Dia salah satu pengajar di pondok, Mbak."

Tampaknya Rika mengernyitkan keningnya seolah merasa kebingungan dengan apa yang diucapkan adik iparnya. Dia seperti tidak mempercayai apa yang dijelaskan Naluri padanya.

"Siapa namanya?" tanya Rika akhirnya.

"Ustadz Hanif, Mbak."

Rika kali ini mulai menancap pedal gas mobilnya, kendaraan beroda empat itu melaju pelan karena kakak iparnya memang selalu mengendarai kendaraan apapun perlahan asalkan sampai dengan selamat.

"Kamu tahu kan kalau hubungan antara seorang wanita yang sudah memiliki suami dengan lelaki lain seharusnya dijadikan jarak?" tanya wanita itu, dia melirik ke arah sang adik yang sedari tadi diam sembari memainkan jemarinya.

"Iya, Mbak."

"Khalil tahu kamu pergi dengan Ustadz Hanif?" tanya Rika, pertanyaan kali ini membuat dadanya bergemuruh tidak karuan. Sebisa mungkin Naluri menahan rasa sakitnya yang menjalar dalam hatinya. Mengapa dia sampai ceroboh seperti ini tidak mengingat suaminya sama sekali, malah berduaan dengan lelaki yang tidak ada kaitan apapun. Bukankah dia ingin menjadi istri yang baik teruntuk suaminya?

Naluri menggeleng pelan. "Tapi aku dengan Ustadz Hanif hanya mengobrol saja, Mbak."

"Tentu saja mengobrol, dari hati ke hati. Bukankah begitu, Luri?" tanya Rika, dia melirik ke arah adiknya lagi setelah beberapa saat fokus mengendarai.

***
Khalil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sedari tadi dia mondar-mandir tidak jelas karena menunggu kepulangan istrinya. Beberapa kali pria itu juga menyingkap gorden barangkali Naluri pulang. Akan tetapi, sampai detik ini tanda-tanda kedatangan wanita itu belum saja terlihat.

"Ke mana dia? Kenapa belum pulang?" tanyanya lirih. Jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam, tidak biasanya Naluri bepergian seperi itu. Khalil merasa cemas karena dia meninggalkan wanita itu di samping jalan begitu saja.

Suara deru mobil membuatnya kembali menyingkap gorden yang semula tertutup kini terbuka sedikit menampakkan sebuah mobil berwarna putih yang terparkir di depan rumahnya.

"Dengan siapa dia pulang? Grab? Atau?" ucapnya, beberapa saat dia berpikir. "Lelaki yang sempat kutemui bersamanya?"

Pertanyaan itu terjawab sudah bersamaan saat seorang wanita yang merupakan kakak ipar Naluri ikut keluar dari mobilnya juga.

Terdengar suara derit pintu yang terbuka, membuatnya cepat terduduk di atas sofa dengan posisi yang tidak begitu nyaman. Namanya juga buru-buru takut ketahuan kalau sedari tadi dia menunggu kepulangan istrinya.

"Assalamu'alaikum." Naluri mengucapkan salam. Melirik ke arah suaminya yang tampak sedang fokus membaca koran.

"Waalaikumsalam."

"Kak ...," panggil Naluri pelan.

"Hm." Jawabannya terdengar hanya dehaman saja.

"Maaf aku baru pulang."

"Aku enggak peduli kalaupun kamu tidak pulang, Luri." Kalimat itu yang meluncur dari mulut seorang CEO pengusaha sukses.

"Mengenai lelaki yang sempat kakak temui, dia salah satu pengajarku saat di pondok." Begitu yang diutarakan Naluri lagi.

Khalil menyingkirkan koran di depannya, dia melipat dan meletakkannya di atas meja. Sesekali membenarkan posisi duduknya senyaman mungkin.

"Saya tidak pernah menanyakan hal itu, bahkan tidak ingin tahu apa yang terjadi dalam kehidupan kamu, Luri."

"Kalaupun kamu enggak ingin tahu, tapi aku akan terus memberitahu." Naluri mengembangkan senyumannya dengan senang.

"Terserah, Luri! Saya tidak peduli!" sergahnya. Dia bangkit dari duduknya, tapi Naluri cepat mencekal pergelangan tangannya.

"Lagi-lagi aku gagal membuat kamu jatuh cinta, Kak."

***

Hiks, gagal lagi dong;(

PENGGANTI PERAN PENGANTIN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang