18 - Berawal Dari Kecoa

142 11 0
                                    

Maura memandangi kanvas langit hitam pekat, dia masih saja belum tertidur karena memikirkan banyak hal yang terjadi dalam hidupnya. Jendela kaca yang sengaja dibuka, membuatnya lebih tenang karena sesekali adanya angin yang bertiup pelan menerpa wajahnya.

"Kamu belum tidur?" tanya Andre, membuat wanita itu terkesiap dengan kedatangan si pria yang baru saja pulang dari kantornya.

Dia menggeleng pelan sebagai jawaban dari pertanyaan Andre. Pria itu mengelus puncak kepala Maura pelan penuh dengan kasih sayang dan cinta yang sudah beberapa kali ini terus saja ditolak.

"Apa yang kamu pikirkan sekarang, Maura?" tanyanya pelan.

"Mas Khalil." Maura menundukkan pandangannya, dia menyembunyikan bulir bening yang hendak berjatuhan.

Andre menghela napasnya pelan, selama bertahun-tahun rasa sakit itu terus menjalar sampai ulu hatinya. Wanita di depannya seolah tidak menghargai ketulusannya yang sangat mencintainya.

"Kenapa harus Khalil lagi, Maura?" tanya Andre akhirnya.

Maura mengernyitkan keningnya. "Memangnya kenapa? Dia calon suamiku, Ndre."

Pria itu diam, dia melupakan suatu hal jika kebaikannya kali ini karena hanya teruntuk seorang teman. Jika saja Andre mengatakan kembali bahwa dia mencintai Maura, mungkin saja wanita itu sudah pergi dari kediamannya.

"Tidak, Ra."

"Jika saja pria brengsek itu tidak melakukan semaunya, mungkin aku sudah menikah dengannya." Maura menatap kembali ke arah langit dengan nanar.

"Tentu saja. Apa yang akan kamu lakukan jika mengetahui orang yang sudah berbuat senonoh terhadapmu, Maura?"

Maura mengembuskan napasnya. "Aku akan membuat pelajaran teruntuknya, Ndre. Tapi, aku tidak tahu siapa dia."

"Memangnya kamu tidak melihat wajahnya?" tanya Andre memastikan.

Wanita itu menggeleng pelan, dia memang tidak melihat sosoknya karena pria itu menutupi wajahnya dengan sebuah penutup dari kain berwarna hitam.

"Wajahnya tertutup, aku tidak bisa melihat wajahnya. Bahkan suasana saat itu sangat gelap, kepalaku juga pusing tidak dapat ku kendalikan." Maura terus menitikkan air matanya yang terus bercucuran.

Andre menyudahinya dengan dekapan hangat yang begitu erat. Maura juga merasakan kenyamanan dalam pelukan itu. Dia bahkan lebih mengeratkan dekapannya seolah tidak ingin kehilangannya.

"Makasih selalu ada untuk aku, Ndre." Begitu yang diungkapkan Maura. Pria itu tersenyum kecut karena dia merasa jika ucapan terima kasihnya seolah tidak cukup untuk menyembuhkan lukanya yang begitu dalam.

"Aku janji akan selalu berada di sampingmu, Maura," ucap Andre kali ini menatap Maura dengan tatapan lembut, lalu kini dia beralih pada perut wanita itu yang masih rata belum terlihat. " Dan, aku juga akan menjaganya."

Pria itu mengelus perut Maura yang beberapa bulan lagi akan terlihat membuncit. Wanita itu hanya mengangguk pelan menyetujui dengan perkataan si pria yang kembali memeluknya erat.

***
"Ngapain kamu ke kamar saya?" tanya Khalil menaikkan sebelah alisnya.

"Di kamar Luri ada kecoa. Aku takut. Boleh nginep di kamar kamu kan, Kak?" tanya Naluri, menatapnya dengan tatapan berharap.

"Nginep? Memangnya kamu pikir kamar saya itu tempat penginapan umum?" tanyanya. Dia mendudukkan dirinya di atas kasur king size yang masih luas teruntuk seorang lagi.

"Berarti enggak boleh ya?" tanya Naluri memastikan. Dia bahkan sudah membawa boneka pemberian dari almarhum Abi saat pertama kali kedua kakinya menginjak rumah keluarga Umi Farida.

"Boleh saja. Asal kamu jangan menyentuhku dan tidak boleh tidur di tempat tidurku. Bisa dipahami?" tanyanya.

"Lagipula siapa yang mau menyentuh kamu, Kak?" Naluri menggeleng pelan karena pemikiran pria itu memang kotor tidak bisa berpikir jernih.

Mendapatkan ucapan seperti itu, membuat Khalil terdiam. Lagipula Naluri juga tahu batasan jika dia hanya menjadi peran pengganti kakaknya. Kata istri hanya menjadi status di KTPnya saja, karena dia tidak pernah melakukan kewajibannya sebagai seorang istri dari Khalil.

Naluri meletakkan bantalnya pada kursi panjang, dia juga membawa selimut tebal yang dibawanya dari kamar.

"Besok aku akan coba suruh Bi Saroh bersihin kamar kamu biar enggak ada kecoa lagi," ucap Khalil memberi saran.

"Iya."

Keduanya bersamaan memejamkan matanya karena hari ini mereka terlalu lelah sekali. Apalagi Naluri ingin sekali beristirahat setelah seharian ini banyak drama yang terjadi. Mengenai Ustadz Hanif yang menyatakan perasaannya, dia pula merasakan hal yang sama apa yang dirasakan lelaki itu.

Begitu kedua matanya hendak memejam, Naluri dikejutkan dengan seekor kecoa yang merayap mengitari tubuhnya. Hewan kecil berwarna cokelat itu berjalan di atas selimutnya. Dia merasakan kejanggalan yang terjadi, begitu netranya terbuka dan mendapati hewan yang menurutnya menakutkan, wanita itu berteriak sekeras mungkin memenuhi gendang telinga suaminya.

Kedua kakinya begitu lincah hingga naik ke atas tempat tidur Khalil saking ketakutannya. Bahkan Naluri terjatuh ke dalam dekapan suaminya. Dia kini berada di dada bidang Khalil.

Tampaknya pria itu juga belum tertidur, netra mereka saling beradu pandang saling menenggelamkannya beberapa saat. Jarak antara keduanya begitu sangat dekat hingga napas Naluri yang memburu dapat dirasakan Khalil.

Adegan keduanya diakhiri lebih dulu oleh Khalil yang menyadari kejanggalan di antara keduanya. Dia cepat melepaskan kontak matanya, dan membuang pandangannya ke arah lain.

"Kamu sentuh saya." Khalil melirik pada kedua tangan istrinya yang menggenggam lengannya dengan sangat erat.

Pandangan Naluri tertuju pada lengan suaminya yang memang tengah disentuhnya. Wajahnya memerah karena dia sudah melanggar peraturan dari Khalil. Dia mengigit bibir bawahnya, karena situasi saat itu tidak dapat dipikirkan dengan jernih. Kedua matanya kembali menangkap seekor kecoa yang berada di atas selimutnya. Wanita itu memang meninggalkan selimut tebal berkarakter doraemon di atas kursinya, sehingga tidak berani lagi untuknya kembali ke sana.

"Aku takut. Di sana ada kecoa." Naluri menunjuk ke arah kursi panjang.

"Kayaknya kecoa itu dari kamar kamu barusan. Dia jadinya ikut ke sini." Khalil menggeleng pelan.

"Terus gimana dong aku takut, Kak."

"Kamu tidur di sini. Saya tidur di lantai aja."

"Terus nanti kecoanya gimana?" tanya Naluri.

"Biarin dia di sini dulu. Emangnya kenapa kamu mikirin kecoa, hah? Kamu keluarga kecoa juga?" tanya Khalil, membuat wanita itu menatapnya dengan tatapan tajam.

PENGGANTI PERAN PENGANTIN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang