30 - Soal Hati

104 5 0
                                    

Happy Reading 🤗 Follow, vote dan komen ya.

***

Maura tidak bisa berpikir jernih mengenai apa yang dlihatnya beberapa hari yang lalu, sejak saat itu dia mengurung diri di dalam kamar bahkan hidupnya pun seolah tidak bergairah seperti sebelumnya. Mungkin karena terlalu memikirkan mengenai sang adik yang merebut Khalil dari genggamannya. Dia sadar jika dirinya telah salah meninggalkan pernikahannya begitu saja tanpa alasan yang jelas. Akan tetapi, kenapa hal tersebut terjadi sampai serumit ini? Dia malah menikahi adik angkatnya sendiri dan hal itu membuatnya sangat terluka.

Ditemani Andre yang sedari tadi berusaha menenangkannya dengan mengelus kepalanya lembut. Maura juga bersandar pada bahu pria itu seolah merasa nyaman di posisinya sekarang. Andre tahu bagaimana perasaan Maura sekarang, hatinya pasti sangat berantakan. Dia berjanji pada dirinya sendiri akan selalu berada di samping wanita itu dala kondisi apa pun meski Maura tidak pernah sekali pun menganggapnya ada.

“Kenapa semuanya jadi kayak gini, Ndre?” Maura terisak, tangisannya tiada henti membuat Andre mengepalkan kedua tangannya dengan sangat kuat. Hatinya terasa sakit karena wanita itu masih saja tetap memikirkan Khalil, padahal pria itu sudah menyakitinya.

“Sudahi tangismu, Maura.” Andre mengusap lembut sudut mata wanita itu. Dia memang orang yang selalu ada untuknya.

“Apa yang harus kulakukan, Ndre?” tanya Maura akhirnya, dia tidak rela jika kekasihnya direbut sang adik.

Andre memang menginginkan Maura, dia ingin memiliki sepenuhnya tanpa ada yang menghalangi siapa pun itu. Akan tetapi, dia tidak bisa melihat wanita itu menangis karena tidak bahagia. Bukankah level tertinggi dari jatuh hati itu melihatnya bahagia meski tidak bersama kita?

“Kamu hanya perlu bersabar. Jangan merasa sendirian, karena gue ada buat lo.” Andre mengusap kepalanya lagi. Dia memang sangat menyayangi wanita itu melebihi dirinya sendiri, padahal Maura tidak sekali pun menengok ke arahnya, keberadaannya seolah tiada bagai suatu hal tidak dapat dilihat. Pria itu tahu jika wanita yang kini menggenggam jemarinya dengan sangat kuat tidak sedikit pun menghargai sosoknya. Segala hal sudah dilakukannya, tapi tetap saja rasanya sia-sia.

Andre merasa jika sudah menjadi keharusan teruntuknya merelakan Maura, dia harus lebih memikirkan kebahagiaan wanita itu daripada berjuang mati-matian dengan diakhiri rasa sakit. Dia harus lebih berpikir dewasa karena hati itu tidak hanya puas begitu perasaan kami saling berbalas, tapi soal bahagia juga tidaknya saat bersama.

“Maaf, sudah memaksamu untuk berada di sampingku. Kali ini aku tahu jika itu hal menyakitkan.” Andre membatin dalam hati dengan lirih. Jika memang semesta memang tidak pernah mengizinkan mereka bersama, mungkin hanya kata ‘sudahlah, dia bukan jodohmu’ yang bisa mewakili dari segala rasa sakit yang dirasa.

***
Ustadz Hanif tidak pernah berpikir jika Naluri akan keluar dari Pondok, nyatanya dia sangat ingin fokus pada kehidupannya sekarang. Padahal pria itu mengira jika pernikahan wanita itu tidak pernah bahagia bahkan pria yang menurunkannya dari mobil saat itu dianggapnya tidak memiliki rasa. Pernikahan mereka mungkin saja terjadi karena terpaksa begitu menurut Hanif dalam hati.

Akan tetapi, begitu melihat kebersamaan keduanya membuatnya berulang kali beristigfar karena dia sudah berfikir hal negatif, padahal semua hal itu seolah sketsa saja belum tentu benar adanya. Bahkan Hanif pernah berniat untuk menikahi Naluri saja karena terlihat dari sorot mata Khalil yang tampak ketus tidak bisa berlaku romantis terhadap sang istri. Namun, hari ini pria itu menunjukkan segala hal tepat di depannya. Hal itu membuat dadanya berkobaran, dia memang sadar jika dirinya sudah tidak waras karena terlalu memikirkan wanita yang sudah berstatus sebagai seorang istri dari orang lain.

“Kalau gitu kami mohon izin pamit ya.” Khalil yang lebih dulu mengatakannya begitu dia melirik ke arah jam tangan yang melingkar di sana.

“Eh, kok hanya sebentar?” tanya Umi yang langsung mengarah pada Naluri.

“Ada pekerjaan yang tidak bisa saya tinggalkan.” Khalil tersenyum sangat manis, dia meraih tangan istrinya dengan sangat erat. Hal itu dilakukannya seolah tengah memanasi Ustadz Hanif yang kini tampak terlihat sangat kesal.

Khalil melirik Hanif beberapa saat, lalu dia kembali menoleh ke arah istrinya yang sedari tadi hanya diam saja tidak mengutarakan pendapatan apa-apa. Naluri hanya tersenyum saja menimpali perkataan mereka.

“Sepertinya Nak Khalil ini sangat pekerja keras ya?” tanya Abi yang membuat Naluri terkekeh-kekeh pelan. Memang benar Khalil termasuk ke dalam pria idaman bukan hanya tampan soal tampang, tapi juga mapan dalam setiap bisnis yang didirikannya.

Setelah usai berpamitan Naluri dan Khalil, keduanya beranjak pergi dari tempat duduknya, tapi Hanif menghentikan pergerakan mereka.

“Bisa ngobrol sama kamu sebentar, Naluri?” tanyanya pelan, hingga diangguki wanita itu.

“Bilang sebentar jangan lama.” Khalil memperingatinya, tepat di telinga sang istri.

Hanif memandangi pepohonan rindang yang sengaja ditanam di setiap samping halaman, hal itu menyejukkan Pondok hingga banyak sekali para santri yang terduduk di dekat sana. Mungkin selain udaranya yang sejuk mereka juga nyaman pula dapat memandangi hehijauan yang indah. Bahkan Umi selaku istri dari pemilik Pondok tersebut menyukai hal seperti menanam. Tidak heran di sana selain ada pohon palem, ada pula bebuahan yang diperuntuk para muridnya di kala panen. Mereka tinggal memetiknya sesuka hati. Di sana juga ada berbagai tanaman bunga yang tumbuh dengan sangat baik, bermekaran menambah keindahan di Pondok taman itu.

Mereka duduk saling memberi jarak, karena bagaimana pun keduanya bukan muhrim bahkan Naluri adalah istri dari pria lain. Tidak pantas bagi dua orang lawan jenis yang tidak mempunyai ikatan keluarga berdekatan bahkan jika sampai melakukan perbuatan di batas kesadaran.

“Saya menganggumi kamu, Naluri.” Pada akhirnya kalimat itu terlontarkan setelah beberaapa tahun ini dipendam. Memang, seharusnya dia tidak mengatakan hal itu. Akan tetapi, dia pikir jika Naluri harus mengetahuinya.

Sontak saja Naluri terperangah mendengar perkataan Ustadz Hanif, nyatanya perasaan dia selama ini terbalaskan. Wanita itu pula memang memendam perasaan seperti apa yang dirasakan Hanif. Akan tetapi, perasaan itu sudah dikuburnya sejak Khalil menjabat tangan walinya. Di hatinya ada nama pria yang tidak sama sekali menyukai, tapi dia bersikeras untuk membuat Khalil merasakan getaran seperti yang dirasakannya.

“Kubur perasaan itu dalam-dalam,” ungkap Naluri, dia bangkit dari duduknya. Begitu menoeh ke belakangnya nyatanya sosok Khalil mematung di tempat. Apakah dia mendengarkan semuanya? Naluri harus segera memastikan hal itu.

***
Baca ceritaku yang lainnya yuk.

Untuk di bab ini belum ada adegan Khalil-Naluri ya wkwk.

Mau bikin Khalil cemburu duyuuu😝😂

PENGGANTI PERAN PENGANTIN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang