11 - Tangisan Naluri

158 8 0
                                    

Happy Reading ya hehe.

***

Naluri sudah menyiapkan hidangan masakan yang menggugah selera. Khalil yang masih terjaga harus mengikuti aroma bumbu lezat di arah dapur.

Tidak biasanya Bik Saroh memasak sepagi itu, bahkan masakan untuk sarapan pun dia sediakan dengan menu praktis tanpa dibumbui segala macam untuk memperkuat citarasa.

Langkahnya terhenti saat mendapati seseorang yang membelakangi. Terlihat sekali dia sangat telaten saat mengaduk masakannya di atas wajan. Entah menu apa yang akan dihidangkannya.

Jika membicarakan perihal masakan, Khalil jadi teringat dengan hidangan beberapa menu di waktu malam saat dirinya pulang. Di atas meja makan tersedia makanan lezat yang menggugah lidah. Apa mungkin Naluri juga yang menyiapkan makanan itu waktu malam? Pertanyaan kian bercabang mengisi ruang pikirannya.

"Eh ... sudah bangun, Kak?" tanya Naluri saat menoleh, menyadari keberadaan suaminya yang tengah mematung tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Khalil mengangguk kaku, dia tidak tahu harus melakukan apa karena sudah tertangkap basah tengah memperhatikannya. Lelaki itu tidak mau jika Naluri berpikiran hal aneh.

"Kalau gitu, ayo kakak duduk di sini." Naluri mempersilakannya duduk, tapi sang suami tidak menuruti permintaannya. Terpaksa, gadis itu menarik lengannya lalu mendudukkannya di sana.

Khalil memutar kedua bola matanya malas, dia selalu berhati-hati dalam bersikap padanya agar niatnya itu tidak terlaksana begitu saja. Jika dalam tiga puluh hari, berarti dimulai hari ini Naluri sedang mencoba segala cara agar mencintai juga dicintai suaminya selama pernikahan itu masih ada.

Sepiring nasi beserta lauk-pauknya yang sudah disediakannya kini berada di depannya. Dia tidak percaya jika hidangan dengan menu special itu hasil dari kedua tangan Naluri. Mana mungkin gadis kecil itu sudah pandai memasak? Bahkan Maura saja belum lihai meski usianya sudah di atas dua puluh.

"Aku sudah buatkan sarapan ini untuk kakak."

"Saya enggak mau makan."

"Kamu harus mencobanya, Kak. Sedikit saja," ucap Naluri dengan nada yang sedikit memohon.

"Saya enggak mau."

Tidak ingin menyerah untuk mendekati suaminya, dia kini meraih tangan Khalil dengan lembut. Refleks, lelaki itu menatapnya dengan lekat.

"Saya enggak mau." Khalil cepat memalingkan wajahnya begitu dia tersadar dengan posisinya.

Khalil meninggalkan ruang makan, berlalu begitu saja kembali ke kamarnya tanpa mencicipi masakan sang istri meski hanya sedikit.

Rasanya sesak diabaikan oleh suami sendiri, Naluri mencoba untuk bersabar menghadapi Khalil yang sangat sulit untuk dilunakkan hatinya.

Dari kejauhan Bik Saroh memperhatikan mereka. Dia menggeleng lemah melihat perlakuan majikannya begitu semena-mena terhadap istrinya sendiri.

Merasa diperhatikan Naluri melirik ke arah asisten rumah tangganya. Lalu memanggilnya, memintanya untuk segera mencicipi masakannya.

"Ayo, Bik. Sini."

"Ada apa, Neng?" tanyanya.

"Bik Saroh makan bareng sama Luri yuk," ajaknya ramah.

"Saya makannya di belakang aja, Neng." Bik Saroh bukannya menolak, tapi selama bekerja di rumah Khalil dia tidak pernah duduk bersama majikan. Menurutnya hal itu terlalu lancang jika dilakukan.

Naluri meraih tangan Bik Saroh, menariknya pelan lalu mendudukkannya di salah satu kursi meja makan. Dia juga memberikan piring yang memang sudah disediakan di atas meja, memberikan beberapa lauk pauk serta nasi dalam porsi banyak.

"Jangan banyak-banyak, Neng."

"Bik Saroh makannya harus banyak biar selalu sehat." Naluri memang baik, dia selalu menghormati siapa pun tanpa melihat status atau derajat orang yang tersebut.

Dari kejauhan Khalil memandangi istrinya yang tengah menyantap masakannya sendiri dengan Bik Saroh.

"Kamu enggak salah, Luri. Yang salah hanya takdir, kenapa kamu menjadi pengganti Maura?"

Pria itu kembali masuk ke dalam kamarnya, dia segera bersiap pergi untuk menyelesaikan tugas di kantornya. Namun, ada alasan lain membuat dia sangat bersemangat keluar dari rumah karena jika terus berada di sana dia terus bertemu dengan Naluri, maka rasa bersalahnya pada Maura semakin besar padahal wanita itu yang lebih dulu berbuat masalah.

Tidak lama, Naluri datang bahkan sudah berada di depan Khalil. Sudut bibirnya tertarik ke atas seolah memberikan semangat pagi teruntuk suaminya. Bagaimana pun sikap pria itu padanya, dia tetap saja bersabar untuk terus meraih hatinya karena wanita itu juga sudah meniatkan jika dia akan berusaha mencintai pria di depannya yang kini berstatus suaminya.

"Ngapain kamu berdiri di depan saya?" tanya Khalil, alisnya naik sebelah.

"Kakak mau berangkat?" tanyanya.

Pria itu mengangguk pelan seolah tidak ada kalimat yang ingin disampaikannya. Dia hendak melangkah pergi, tapi Naluri cepat mencekalnya dengan sangat kuat.

"Ada apa?" Kedua matanya mengarah tajam pada pergelangan tangannya yang dicekal dengan sangat kuat Naluri.

"Aku belum sempat pamit sama Kakak."

Wanita itu meraih tangan suaminya, lalu mengecup punggung tangannya sangat lama. Dia seolah menikmati masa-masa itu tanpa adanya rasa takut dicerca suaminya.

Khalil melepaskan genggaman tangannya dengan kasar, dia seolah malas meladeni wanita yang kini menatapnya dengan nanar. Padahal Naluri mengharapkan kecupan lembut di keningnya atau setidaknya mengelus puncak kepalanya pelan. Namun, semua itu hanyalah khayalan semata karena kenyataannya dia tidak mendapatkan apa pun.

"Saya sudah terlambat. Kamu sudah membuat waktu saya tersita banyak!" sergahnya, kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Naluri yang mematung di tempat.

Bi Saroh melihat Naluri menitikkan air matanya, cepat menghampiri karena dia melihat bagaimana perlakuan majikannya terhadap wanita yang kini tengah berembus pelan seolah sedang berusaha menahan tangisnya.

"Neng ...," panggilnya pelan.

Dia cepat mengusap wajahnya dengan kasar seolah tidak ingin siapa pun tahu jika dirinya tengah bersedih.

"Kok udahan makannya, Bi?" tanya Naluri. Senyumannya sudah kembali mengembang, padahal itu hanyalah topeng untuk menutupi segala kepedihan dalam hidupnya.

"Neng nangis lagi?" tanya Bi Saroh, mengalihkan pembicaraan. "Bibi tahu kok setiap saat Neng nangis karena sikap Tuan. Iya kan?"

Kali ini Naluri terdiam, karena dia tidak bisa berucap semua yang dipertanyakan Bi Saroh benar adanya. Dia kebingungan sampai pada akhirnya bulir bening yang sedari tadi menggenang di pelupuk matanya kembali meluncur dengan bebas membasahi permukaan wajahnya.

Bi Saroh mendekap Naluri dengan sangat erat seolah memberikan kekuatan padanya jika semua permasalahan yang menimpanya akan segera dilalui. Semuanya akan indah pada waktunya, meski wanita paruh baya itu tidak tahu apa yang terjadi dalam rumah tangga majikannya.

Suara ketukan pintu menghentikan keduanya untuk menumpahkan segala gelisah yang menyayat hatinya. Nuri cepat melangkah menuju ke depan pintu utama.

Begitu pintunya terbuka, sosok wanita paruh baya tengah mematung di sana. Menatapnya dengan sinis seolah ada sesuatu yang ingin ditanyakannya.

"Pernikahan kalian baik-baik saja kan?" tanya Vera, menaikkan alisnya sebelah.

Naluri memegang knop pintu dengan sangat kuat, dia seperti ketakutan begitu mendapatkan pertanyaan yang membuat dadanya bergemuruh tidak seperti biasanya.

****
Udah baper belum😭😭😭

PENGGANTI PERAN PENGANTIN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang