34 - Takdir Pertemuan

123 6 0
                                    

Happy Reading 🥰 Follow, vote dan komen ya.

***
Atas permintaan istrinya pria itu mengiyakan ajakannya ke sebuah kafe kopi bernuansa modern, selain tata posisinya yang bisa dibilang nyaman pula didesain dengan unsur estetik. Maka, tidak heran jika yang datang kebanyakan anak muda yang bawa pasangan bukan hanya sekedar menikmati secangkir kopi, tapi mengambil beberapa pose terbaiknya dalam bentuk potretan di kameranya.

Pemandangan di sana pun menarik perhatian para pengunjung karena disuguhkan dengan lukisan di dinding. Sepertinya Naluri memang tidak salah memilih mengajak suaminya ke kafe tersebut. Pria di depannya sesekali menyesap kopi yang masih mengepul, karena pesanan mereka pula memang baru datang.

“Diminum kopinya nanti keburu dingin,” ungkap Khalil, dia masih memegangi secangkir kopi. Aromanya lamat-lamat dia hirup karena menurut indra penciumannya selalu menikmati.

“Justru aku suka membiarkannya, hingga dia dingin tidak lagi menghangatkan.” Naluri berkata demikian sembari memandangi Khalil tiada henti. Entah kenapa ada rasa sakit jika dirinya harus melepas Khalil.

Hari ini tepatnya tiga puluh hari mereka bersama dan perjanjian itu hadir dalam pernikahan keduanya. Naluri akan memberikannya kebebasan kepada sang suami, mempertahankan atau melepaskannya. Meskipun Maura belum kembali ke dalam pelukannya, tapi Naluri mungkin akan memberikannya kesempatan untuk mencarinya ke mana pun. Dia tidak akan memaksakan diri membuat Khalil mencintainya, karena waktunya memang telah usai. Wanita itu mengakui jika dirinya gagal, tapi tidak sepenuhnya. Jujur saja, Naluri sudah berhasil jatuh hati pada suaminya.

“Jangan dibiarkan sampai dingin, karena rasanya akan berbeda.” Khalil kembali meletakkan cangkir kopinya di tempat semula. Kini, dia beralih pada sepiring cemilan yang dipesannya.

“Menurutku rasanya akan sama saja,” jawab Naluri. “Bagaimana dengan aku yang tidak mendiamkanmu justru memerhatikanmu selalu, tapi Kakak masih saja tidak mencintaiku.”
Naluri terkekeh pelan lalu dia menundukkan kepalanya, sepertinya wanita itu menertawakan dirinya sendiri yang bisa dibilang bodoh. Dia mengusahakan untuk membuat pria itu jatuh hati padanya, padahal jauh dari kata mungkin.

“Maafkan saya, Luri.” Pria itu meraih kedua tangan istrinya, menggenggamnya dengan sangat kuat.

Bukannya saling mengeratkan genggaman itu, tapi istrinya malah melepaskan tautan jemari dari sang suami. Dia menjauhkan tangannya dari Khalil bahkan kini memalingkan pandangannya.

“Sudah tiga puluh hari, Kak. Itu artinya Kakak berhak melepas Luri.” Ukiran senyumannnya tercetak jelas dari raut wajahnya. Dia akui jika hal ini adalah hal yang tersulit baginya, tapi bagaimana pun Naluri harus bisa menjalani semuanya. Perjanjian itu dibuat memang olehnya, dan sekarang pula dia yang mengakhirinya.

Wanita itu mengembuskan napasnya pelan, lalu kembali menatap pria di depannya dengan penuh kehangatan. “Kakak boleh menceraikan, Luri.”

Dengan tangan yang gemetar Naluri menyeka sudut matanya dengan kasar, dia berusaha untuk tersenyum aagr terlihat tegar di mata siapa saja. Bibir tipisnya kembali melengkung membentuk bulan sabit, Khalil mengakui jika aura manis istrinya akan meningkat kala dia tersenyum. Akan tetapi, kali ini senyumannya seolah dipaksakan oleh rasa sakit yang terasa sangat nyeri di bagian ulu hatinya. Wanita berusia delapan belas tahun itu mengakui jika dirinya mencintai suaminya dengan sangat sehingga sangat berat baginya untuk melepaskan pria itu.

“Kenapa?” tanya Khalil, dia memandangi istrinya.

Pantas saja Naluri mengajaknya ke kafe untuk membahas soal ini, karena jika saja di rumahnya pasti akan banyak pertanyaan dari Vera. Atau mungkin jika wanita paruh baya itu mengetahui perihal perjanjian yang terikat dalam pernikahan mereka mungkin akan sangat marah karena keduanya mempermainkan ikatan suci itu.

“Kenapa kamu ingin mengakhiri semuanya, Luri?” tanya Khalil mengulangi pertanyaannya lagi.

“Karena untuk apa dilanjutkan jika Kakak tidak bahagia? Bukankah Kakak mencintai dan mengharapkan Kak Maura?” tanya Naluri.

“Lalu, bagaimana dengan kamu, Luri?” tanyanya.

“Saya sudah mencintai Kakak, bukankah level terberat dari mencintai adalah pengorbanan. Dan pengorbanan itu melepaskan, aku akan bahagia jika Kakak bahagia.” Naluri mengakui jika dirinya memang sudah memiliki perasaan yang mendalam terhadap suaminya, meskipun perasaan itu tidak pernah dibalasnya.

“Tapi saya sangat mengkhawatirkanmu, Luri.” Khalil menatap wanita di depannya dengan tatapan tajam. Dia tidak bisa meninggalkannya seorang diri, meskipun perasannya tetap saja hanya menginginkan Maura dalam hidupnya.

“Tidak perlu khawatir, Kak. Aku akan baik-baik saja.” Naluri kembali tersenyum.

“Aku sudah tidak tahan dengan sikap polosmu itu, Naluri!” sergah seorang wanita dari arah belakang. Tentu saja, hal itu membuat keduanya berbalik memandangi Maura yang tengah berdiri mematung.

Bukan hanya Naluri, tapi juga Khalil yang terkejut dengan kedatangannya yang begitu tiba-tiba. Sudah menghilang beberapa waktu, lalu dia kembali lagi setelah semuanya baik-baik saja. Tanpa disadari Khalil mengepalkan kedua tangannya dengan sangat kuat.

“Kak Maura?” tanya Naluri, dia bangkit dari duduknya. Sekarang keduanya saling berhadapan, menenggelamkan sepasang mata masing-masing.

“Kenapa? Kamu terkejut, Luri?” tanya Maura, lalu dia terkekeh pelan. Kali ini Khalil yang berdiri dan mulai mendekati kekasihnya.

“Ke mana saja kamu selama ini, Maura? Tidakkah kamu memikirkanku yang begitu sangat menginginkanmu?” tanya Khalil, kedua matanya berkaca-kaca bahkan merah padam.

Maura memegangi tangan Khalil, tapi dengan cepat pria itu kembali menepisnya. Tanpa disadari bulir bening dari kedua mata wanita itu meluncur bebas hingga membasahi pipinya. Dia memang menyesal karena sudah meninggalkan pernikahannya sendiri, karena saat itu dirinya sangat takut untuk mengatakan keberadaan janin dalam perutnya, dia akan melahirkan bayi itu lebih dulu dan akan kembali lagi setelah semua permasalahan dirinya selesai. Akan tetapi, mengetahui jika kekasihnya menikahi Naluri yang merupakan adik angkatnya, membuatnya tidak bisa menerima hal itu. Dia sudah tidak tahan lagi ingin menghancurkan keduanya sebelum terlambat.

Di hari inilah luapan emosi membludak begitu saja, Maura tidak bisa menahan kemarahannya lagi. Dia berjanji pada dirinya sendiri akan merebut Khalil kembali ke dalam pelukannya.

“Maafkan aku. Aku akan menjelaskan semuanya.”

Pandangan Khalil kini beralih pada perut buncit kekasihnya. Tentu saja, hal itu menjadi tanda tanya yang patut untuk dijawab dengan kejujuran.

“Sebenarnya apa yang terjadi, Maura?” tanya Khalil, kedua matanya tidak terlepas dari perut kekasihnya.

***
Hulla, update lagi nih ya ges ya.

Baca cerita karya aku yang lainnya yuk.😁

PENGGANTI PERAN PENGANTIN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang