35 - Kesalahpahaman

135 7 0
                                    

Happy Reading 🥰

***

“Naluri?” tanya Sari yang merupakan pemilik panti, tempatnya saat kecil dulu. Dia memutuskan untuk pergi diam-diam dari rumah Khalil. Bahkan wanita itu tidak sempat meminta izin pada mertuanya karena pasti akan ada banyak pertanyaan mengenai kepulangannya.

“Naluri boleh tinggal di sini untuk beberapa saat kan, Bun?” tanya wanita yang mengenakan gamis berwarna navy itu.

“Tentu saja. Sampai kapan pun, dan kapan saja kamu boleh datang ke sini. Bahkan jika ingin selamanya tinggal di sini sangat boleh, Nak. Bunda enggak akan larang kamu. Ayo masuk dulu, kita ngobrol di dalam.”

Sari membawa Naluri masuk ke dalam rumah, bersamaan dengan itu suara anak-anak panti memenuhi rumah. Mereka bersorak ria karena kakaknya kembali menemui. Ya, walaupun Naluri sudah mempunyai orang tua asuh, tapi wanita itu tidak melupakan rumah pertamanya. Dia selalu menjenguk adik-adiknya di panti sekedar memberikannya makanan juga mengisahkan cerita dongeng yang membuat mereka merasa terhibur dengan keberadaannya.

“Kak Naluri kok baru ke sini lagi?” tanya salah satu seorang anak laki-laki yang kini menggenggam tangan Naluri dengan erat.

“Karena waktu kemarin Kak Naluri lagi ada urusan, Nino.” Wanita itu mengelus punak kepala anak bertubuh gempal itu.

“Kak Nalurinya harus istirahat dulu, kalian main dulu ya,” ungkap Sari memerintahkan anak-anak panti untuk tidak mengganggu Naluri lebih dulu, karena dia tahu jika wanita itu sepertinya lelah. Bahkan melihat dari matanya yang tampak sembab membuatnya meyakini jika Naluri tengah ada masalah. Dia harus segera menanyakan hal itu, bahkan setahunya dia sudah menikah, bukankah seharusnya dia bersama dengan sang suami? Lalu, kenapa dia mengatakan akan tinggal beberapa hari di sana. Meskipun tidak seharusnya dia mengetahui permasalahan yang menimpa anak angkatnya, tapi dia pula harus menanyakan kebenarannya agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Sari juga membukakan pintu kamar Naluri yang sudah lama tidak ditempati, tapi dia selalu rajin membersihkannya karena sewaktu-waktu Naluri akan kembali meski hanya sekedar singgah saja. Keduanya duduk di tepi ranjang, karena memang sudah menjadi tempat ternyaman mungkin.

“Ke mana suami kamu, kok dia enggak ikut, Luri?” tanya Sari memastikan. Dia mengatakannya pula berhati-hati karena takut ada kesalahan dalam berkata.

“Ada di rumah, tapi dia sibuk kerja, Bunda.” Naluri tersenyum saat mengatakan hal itu. Padahal, dia berbohong pada sari karena kebenarannya bukan seperti apa yang dikatakannya.

“Benarkah seperti itu, Sayang?” tanyanya lagi memastikan. Naluri cepat mengangguk membenarkan pertanyaannya, padahal dia juga ingin sekali mencurahkan segala rasa sakitnya pada Sari. Akan tetapi, dia tidak ingin membuat wanita itu merasa khawatir. Apalagi Khalil belum resmi menceraikannya, mungkin akan lebih baik jika dia diam saja sampai semuanya selesai sampai pengadilan nanti.

“Bunda jangan kasih tahu Umi kalau Luri di sini ya, soalnya Luri lagi pengin di panti dulu. Mungkin, setelah di sini baru Luri ke sana.” Sari pun mengangguk mengiyakan permintaan Naluri. Meski sebenarnya dia merasa adanya kejanggalan. Namun, sebaiknya dia berpikir positif saja lagipula tidak baik jika dirinya terus mengorek perihal rumah tangganya.

Saat pernikahan Naluri dia memang tidak datang karena adanya keperluan lain, salah satu anak panti ada yang dirawat di salah satu rumah sakit besar. Namanya, Nino. Anak laki-laki berusia enam tahun yang sempat menyapa Naluri saat datang. Dia mengidap penyakit langka sehingga sulit bagi dokter untuk menyembuhkannya. Hal itu membuat Sari harus mengorbankan waktunya demi Nino setiap kali merasakan kesakitan di seluruh tubuhnya.

Hal itu membuatnya belum mengenal suaminya Naluri dengan baik, karena hanya melihatnya dari handphone saja itu pun Umi Farida yang mengirimkannya. Naluri pula memahami dengan situasi Sari saat itu karena sebagai Bunda teruntuk anak-anak panti dia harus mengorbankan waktunya bersama mereka.

“Kalau gitu Bunda tinggal dulu ya. Kamu pasti belum makan kan, Luri?” tanyanya yang segera direspon dengan anggukan pelan oleh Naluri.

“Luri kangen masakan Bunda.”

“Nanti Bunda masakin buat kamu ya makanan kesukaanmu, Sayang.” Sari mengusap kepala Naluri lembut dan penuh dengan kasih sayang.

Dia memang sangat menyayangi Naluri seolah seperti anaknya sendiri, hal itu dibuktikan wanita itu hendak diadopsi oleh Umi Farida. Dia menolaknya dengan keras karena sosok Naluri sudah seperti putrinya, dia tidak ingin kehilangan anak itu, tapi karena permintaan Umi Farida yang memaksanya agar memberikan Naluri untuknya membuatnya luluh. Apalagi saat Naluri yang langsung akrab dengan Maura. Putri kedua Umi Farida memang menginginkan seorang adik, tapi Umi tidak bisa memberikannya karena rahimnya sudah diangkat, hal itu terjadi disebabkan karena kista yang tumbuh di sana semakin membesar dan dokter pun memutuskan tindakan dalam jalur operasi.

Saat itu juga Umi memang tengah hamil, Maura sangat senang mengetahui jika dirinya sebentar lagi akan menjadi seorang kakak. Kaan tetapi, semua kebahagiaan itu sirna seolah dilenyapkan. Umi Farida tidak bisa menolak tindakan dokter karena jika saja dia tetap menginginkan bayi itu berarti nyawanya akan melayang. Tentu saja Maura sangat sedih saat tahu jika adik dalam rahim Uminya kini sudah tidak ada lagi di sana, karena dia dikeluarkan terpaksa.

Untuk menggantikan rasa kesedihan Maura, Umi Farida mengajaknya ke salah satu tempat yaitu panti. Di sana banyak sekali anak-anak di bawah usianya, tapi tetap saja Maura enggan berkenalan. Ibunya berkali-kali berbisik menyuruhnya untuk bermain. Akan tetapi, anak itu tidak meresponnya sama sekali.

Begitu melihat sosok Naluri dia malah tertarik dan mengajaknya bermain bersama. Tentu saja Naluri tidak akan menolak, dia mengiyakan ajakannya dan pada akhirnya mereka tidak bisa terpisahkan.

Sari memang merasa keberatan saat Umi Farida memutuskan untuk mengadopsi Naluri menjadi anak angkatnya, tapi dikarenakan tangisan Maura saat oitu membuatnya luluh dan mengiyakan keinginan mereka.

Mengingat hal itu membuat Naluri tidak bisa menahan bulir bening yang sedari tadi terus mendesak. Dia merasa bersalah pada kakak angkatnya, wanita itu merasa sudah menjadi adik yang jahat. Kesalahannya pada Maura tidak dapat terhitung, seharusnya dia dulu menolak pernikahan itu. Mungkin jika saja bukanlah dirinya menjadi peran pengganti pengantin saat itu, menggantikan posisi Maura di samping Khalil sepertinya masalah ini tidak akan sampai serumit ini.

“Aku tidak berniat untuk menyakiti hatimu, Kak Maura.”

***
Jadi, sebenarnya salah Naluri atau Maura nih?

Kan, salah Mauranya dong yang ninggalin Khalil gitu aja ya?

PENGGANTI PERAN PENGANTIN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang