33 - Patah Hati Luri

128 7 0
                                    

Happy Reading 🥰 Follow, vote dan komen ya.

***
Melirik jam dinding sudah menunjukkan pukul dua belas malam membuat Naluri tidak tenang karena suaminya belum saja pulang. Terakhir kali pria itu meninggalkannya seorang diri di pusat perbelanjaan. Entah angin dari mana sifatnya kembali berubah dingin bagai patung es, wanita itu tidak tahu menahu dengan suaminya yang tidak gampang ditebak.

“Luri ... kok kamu belum tidur?” Vera keluar dari kamarnya menghampiri menangtunya yang terduduk di ruang tamu. Dia melirik jam dinding nyatanya sudah sangat malam, hal itu membuatnya menyimpulkan jika ada sesuatu yang terjadi hingga menantunya terlihat khawatir seperti itu.

“Luri lagi tunggu Kak Khalil, Ma. Dia belum pulang.” Naluri memainkan jemarinya, padahal awalnya dia tidak akan mengatakan hal ini pada mertuanya, tapi bagaimana pun juga Vera harus tahu jika kelakuan putranya masih saja sama seperti dulu meskipun sudah menikah. Sudah menjadi kebiasaannya memang berangkat pagi dan pulang pun seperti waktu saat pergi, terus saja begitu setiap harinya. Hal itu sudah menjadi hal biasa, begitu juga kata Bi Saroh yang bekerja sudah lama di sana sebagai ART. Menurut wanita paruh baya itu Khalil jarang pulang, kalau sekarang mending mungkin karena sudah mempunyai istri.

Terkadang Naluri juga bingung dengan pekerjaan suaminya yang tidak ada selesainya. Apa karena bekerja di kantor sangat melelahkan? Entahlah, Naluri tidak tahu bagaimana ara kerjanya, padahal dia seorang direktur di sana mungkin masih banyak karyawan yang bersedia mengerjakan pekerjaannya dalam beberapa waktu saja. Apalagi jika sampai larut malam, Naluri malah menjadi kepikiran terus jadinya.

“Kebiasaan emang ya Khalil tuh, dari dulu enggak pernah berubah. Selalu aja sibuk kerja. Padahal kan sekarang dia sudah punya kamu, seharusnya bisa atur waktu.” Vera menggeleng pelan, sikap putranya itu memang sulit untuk diubah, tapi bagaimana pun juga jika sebagai seorang Ibu harus mengingatkan putranya jika saja ada sifatnya yang kurang nyaman.

“Enggak apa-apa, Bu. Mungkin pekerjaannya sangat penting tidak bisa untuk dia tinggalkan.” Naluri berusaha untuk meyakinkan mertuanya jika Khalil itu selalu bekerja keras, hal itu dilakukannya pun karena untuk keluarga. Padahal biasanya Naluri tidak sekhawatir ini saat ditinggalkan suaminya bekerja, tapi malam ini dia sangat tidak tenang. Mungkin karena pria itu pergi tanpa pamit lebih dulu, meninggalkannya begitu saja tanpa mengatakan apa-apa.

“Lain kali kamu harus tegas sama dia, Luri. Kamu kan istrinya, seharusnya banyak bertanya mengenai kegiatannya,” ungkap Vera memberikan nasihat pada Naluri yang kini hanya terdiam.

Lengkungan tipis membentuk bulan sabit terukir jelas dari raut wajahnya, Naluri hanya menanggapinya dengan senyuman manis saja. Dia pula kebingungan harus menyikapi suaminya bagaimana.

“Maafkan putra Mama ya, Sayang.” Jemari tangannya yang lentik menyentuh kepala Naluri dengan sangat tulus. Wanita itu memang sangat menyayangi menantunya, dia menganggapnya seperti anaknya sendiri. Maka, tidak heran jika Vera selalu saja memberikan saran untuknya.

“Dia enggak punya salah kok, Ma.” Naluri memegangi lembut tangan mertuanya. Hatinya terasa tersentuh, karena entah sampai kapan dia menjadi bagian dari keluarga mereka, karena tinggal hanya menghitung hari akan ada keputusan dari suaminya, entah itu melepaskannya atau tetap mempertahankan hubungan. Jika saja Vera mengetahui hal itu mungkin dia akan sangat marah karena tidaka da sangkut pautnya dengan dunia pendidikan.

“Pokoknya kalau ada apa-apa bilang sama Mama ya, Nak. Mama enggak mau kalau kamu disakitin sama putra Mama.” Mungkin yang dikatakan Vera mengenai rasa sakit yang ditakutkannya itu bukan mengenai fisik, tapi hatinya. Dia tahu jika keduanya tidak saling memiliki rasa karena pernikahan mereka terjadi karena terpaksa, Vera mengerti dengan hal itu bagaimana prosenya menumbuhkan rasa itu, pastinya sangat sulit tidak mungkin dalam satu hari langsung jatuh hati. Pastinya, akan ada proses dalam menggapai segala sesuatunya.

Anggukkan pelan dari Naluri membuat mertuanya tersenyum senang, dia tahu jika menantunya hanyalah gadis polos dan lugu. Akan tetapi, wanita paruh baya itu sangat bersyukur karena putranya sudah dipertemukan bahwa diberi kesempatan memilikinya dalam waktu yang singkat.
“Makasih, Ma.” Keduanya pun berpelukan dengan saling menghangatkan.

***
Suara ketukan pintu dengan gedoran yang keras membuat Naluri terbangun dari tidurnya yang sedari tadi meringkuk di atas sofa. Naluri segera membukanya, tapi dia lebih dulu mengintip di balik jendela. Sosok pria yang selama beberapa jam ini ditunggunya ternyata baru pulang, dia tengah mematung di depan pintu.

Naluri membukakan pintunya, dia memandangi pria di depannya yang tampaknya terlihat sendu. Tubuhnya basah kuyup, membuat dia melongok ke luar nyatanya di sana tengah hujan deras. Melirik tas hitam yang dibawa suaminya Naluri segera mengambil alih dari tangannya.

“Kamu kehujanan, Kak. Aku ambilkan handuk dulu ya.” Begitu Naluri hendak melangkah pergi, tapi dengan cepat mencekal pergelangan tangannya. Hal itu membuat Naluri menghentikan langkahnya, dia menoleh ke arah belakang ternyata suaminya memang menahannya untuk tidak pergi.

Pria itu menggeleng pelan, Naluri memandangi kedua matanya dengan saksama ternyata tampak adanya kesedihan yang terpendam. Dia tidak menanyakan hal apa yang membuat guratan sendu itu tampak dari raut wajahnya, tapi wanita melepaskan pegangan Khalil diganti dengan genggaman dengan erat.

“Maura,” ungkapnya.

Mendengar nama itu membuat Naluri refleks melepaskan genggamannya. Memang wajar jika suaminya mengatakan sosok Maura yang kini masih belum ditemukan keberadaannya. Akan tetapi, tidakkah dia berpikir mengenai hati istrinya yang pastinya sangat hancur. Istri mana yang tidak merasakan sakit hati saat suaminya memanggil nama wanita lain di hadapannya di saat adegan yang bisa dibilang romantis.

Naluri membalikkan tubuhnya pula memalingkan pandangannya, tidak disadari bulir bening yang sedari tadi mendesak keluar kini berjatuhan membasahi pipinya. Dia terisak menangis, tapi bersamaan saat itu suaminya memeluk tubuhnya dari belakang.

“Saya benar-benar tidak bisa berhenti mencintai Maura meskipun wanita itu sudah berkhianat.”

***
Menurut kalian di bab bagian ini bagaimana hayo? 😁



PENGGANTI PERAN PENGANTIN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang