16 - Rasa Sakit

152 10 0
                                    

"Pulang!" sergah Khalil, dia mencekal pergelangan tangan istrinya dengan sangat kuat.

Naluri meringis kesakitan karena Khalil terlalu kuat mencekalnya. Hal itu membuat Ustadz Hanif meleraikan pertikaian antara keduanya, menjadi penengah antara mereka.

"Pak ... siapa ya? Tolong jangan kasar-kasar pada perempuan." Lelaki yang mengenakan baju koko itu mengatakannya dengan sangat ramah, dia memang selalu menenangkan permasalahan dengan kepala dingin.

"Seharusnya saya tanya kamu, bisa-bisanya ganggu istri orang!" sindir Khalil, membuat Ustadz Hanif mengernyitkan dahinya kebingungan. Dia melirik ke arah Naluri yang memijat pelipisnya pelan.

"Dia siapa, Luri?" tanya Ustadz Hanif begitu kedua matanya saling beradu dengan Naluri.

"Saya suaminya," ucap Khalil menjawab pertanyaan yang seharusnya dijawab Naluri karena dia bertanya pada wanita itu bukan dirinya.

Naluri merasa tidak enak hati karena perlakuan suaminya terlalu seenaknya pada Ustadz Hanif, mungkin dikarenakan dia mengagumi lelaki itu membuatnya tidak ingin jika dia tahu kalau dirinya sudah menikah.

"Kamu sudah menikah, Luri?" tanyanya terperangah. Tentu saja dia terkejut dengan apa yang didengarnya, karena setahunya Naluri pulang dari pondok beralasan untuk menyaksikan pernikahan Maura. Lalu, apa yang didengarnya sekarang? Bukankah pernyataan itu sangat mengejutkan?

Wanita itu mengangguk pelan mengiyakan pertanyaan dari Ustadz Hanif, mana mungkin dia tidak menganggap suaminya. Meskipun pernikahan mereka sebuah keterpaksaan, tapi bagaimana pun dia tetap suaminya.

Khalil mencekal pergelangan tangan istrinya lalu memintanya untuk segera masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di samping jalan. Perlakuan pria itu membuat Naluri berpikir keras, apakah dia sudah mulai mencintainya?

Mereka meninggalkan Ustadz Hanif yang masih mematung di tempat, sedangkan Khalil mulai menancapkan pedal gasnya hingga melaju dengan cepat.

"Kamu itu udah punya suami, seharusnya tahu bagaimana caranya bersikap pada lelaki lain." Khalil berkata dengan nada tinggi seolah ada amarah yang beberapa waktu lalu dipendam.

"Kamu nyusul aku, Kak?" tanya Naluri akhirnya.

"Aku bukannya nyusul kamu, tapi memang kebetulan saja lewat." Begitu yang menjadi jawabannya.

"Aku lihat tadi kamu marah gitu." Naluri mengigit bibirnya mencoba untuk memastikan suaminya bahwa dia tengah cemburu.

"Saya marah bukan karena kamu, tapi coba pikirkan lagi bagaimana kalau saja Ibu dan Umi tahu kalau aku membiarkan kamu begitu saja." Khalil masih tetap fokus ke arah jalan, dia tidak melirik sekali pun pada istrinya.

Naluri mengembuskan napasnya pelan, dia kira jika Khalil benar-benar cemburu padanya karena berduaan dengan Ustadz Hanif. Ternyata alasannya mengenai keluarganya.

"Kamu jangan berpikir jika saya cemburu. Tentu saja tidak." Kalimat kali ini lebih menyakitkan hati Naluri.

Tanpa diduga Khalil menepikan mobilnya, lalu dia memandangi istrinya dengan sangat lekat.

"Keluar. Saya tidak mau satu mobil dengan wanita selain Maura."

Perkataannya begitu menyakitkan kalbu, Naluri merasa terasingkan meski dirinya istri sendiri. Maura lagi yang dikatakannya, dia tidak pernah sedikit pun membenci wanita itu meskipun dia ditinggalkan begitu saja di hari pernikahannya.

Terpaksa Naluri keluar dari mobil suaminya, dia tidak mau terjadi adu mulut dengan Khalil. Wanita itu harus tetap tegar dan bersikukuh pada niat awalnya. Mencintai suaminya selama dia menjadi istri, dan membuat Khalil mencintainya selama pria itu menjadi suami teruntuknya.

PENGGANTI PERAN PENGANTIN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang