21 - Keadaan Naluri

127 7 0
                                    

Happy Reading 🤗

**
"Bagaimana main sama Tante Luri dan Khalil seru enggak?" tanya Rika begitu mereka selesai bermain.

"Seru banget. Tantenya sampai peluk Om Khalil."

Naluri merutuki dirinya sendiri, bisa-bisanya dia sampai peluk manusia es batu itu. Mungkin karena kondisi matanya yang ditutup membuatnya kesulitan untuk melihat siapa orang di depannya.

Berulang kali dia menghela napasnya pelan karena Khalil terlihat biasa saja, tapi dia sampai menundukkan pandangannya karena malu sudah mendekap tubuhnya dengan erat.

"Kalau nanti Rehan lihat kayak begituan lagi, kamu harus tutup mata ya." Evan menasihati putranya yang semakin pintar saja.

"Emangnya kenapa, Pa? Kok Rehan enggak boleh lihat orang dewasa peluk-pelukan?" tanya Rehan. Anak laki-laki itu memang sangat menggemaskan, ingin sekali Naluri mencubit pipinya saking gregetnya dengan tingkah lakunya.

"Enggak boleh dong, karena Rehan masih kecil." Rika membantu suaminya untuk menjawab pertanyaan dari putra semata wayangnya. Dia mencubit hidung putranya pelan saking gemasnya sampai anak itu menggombali pengantin baru.

"Berarti kalau Rehan udah besar boleh ya lihat Tante sama Om peluk-pelukan?" tanyanya lagi.

"Rehan," panggil ayahnya, Evan memposisikan jari telunjuknya tepat di atas bibirnya. Dia seolah memberitahunya untuk diam tidak boleh mengatakan suatu hal yang membuat kedua sejoli itu merasa dipojokan.

Khalil sedari tadi diam saja, dia melirik pada arloji yang melingkar di tangannya. Ternyata sudah siang, percuma saja ke kantor pun karena sebentar lagi waktunya jam istirahat. Mungkin hari ini dia memutuskan untuk libur saja, toh perusahaan juga punya sendiri membuatnya leluasa tidak harus meminta izin pada sang direktur.

"Kak Khalil enggak pergi bekerja?" tanya Naluri, dia sedari tadi memang melihat pergerakan suaminya yang tampak gelisah karena biasanya dia sudah berada di kantor. Dikarenakan hari ini kedatangan keluarga Naluri, membuatnya harus berada di rumah mengamati anak laki-laki yang terus saja mengoceh. Beruntung saja tantenya pandai mengganti topik pembahasan.

Jawaban dari pria itu hanya dengan gelengan pelan, dia memang sangat sulit untuk menjawabnya dengan perkataan mungkin karena sifatnya yang terlalu dingin.

"Naluri ... kok kamu manggilnya Kakak sih sama Khalil? Dia kan sekarang suami kamu, bukan calon kakak iparmu." Umi Farida berkata seperti itu karena mengingatkan putrinya agar dia tidak merasa sungkan pada suaminya sendiri.

Memang seharusnya Khalil menjadi imam teruntuk Maura, tapi karena takdir berkata lain menjadikan putri angkatnya yang berada di samping pria itu. Hal itu membuatnya meyakini jika jodoh tidak akan ada yang tahu. Umi Farida harus bisa menerima kenyataan tersebut jika Khalil adalah suami Naluri bukan jodoh yang disiapkan teruntuk putri kandungnya.

Naluri melirik ke arah Umi Farida yang menatap ke arahnya lalu memandangi menantunya. Kedua matanya terus mengarah pada mereka secara bergantian.

"Karena selain panggilan itu terus apa, Mi?" tanya Naluri memastikan.

"Semisalnya Mas, Kakang, apalagi kalau kalian sudah mempunyai keturunan pasti panggilannya kembali berubah. Seperti halnya Ayah, Ibu, Abi dan Umi." Begitu yang menjadi penjelasan Farida.

Naluri melirik lagi ke arah suaminya, kali ini dia menggenggam tangannya. Wanita itu memberanikan diri menyentuh suaminya karena biasanya dia selalu urung melakukannya.

"Apa aku harus memanggil kamu dengan sebutan, Mas?" tanya Naluri, bersamaan dengan Khalil yang juga menatap ke arahnya.

Kedua mata mereka saling beradu beberapa saat, hingga pada akhirnya Khalil yang lebih dulu memutuskan kontak matanya. Dia seolah enggan bersitatap dengan istrinya sendiri.

"Untuk apa kamu memanggilku dengan sebutan itu?" tanyanya ketus.

Naluri menunduk karena dia merasa sudah lancang memanggilnya dengan sebutan kata 'Mas' seperti halnya pada seseorang yang saling mencintai.

Umi Farida melirik ke arah putri angkatnya yang terlihat murung atas ucapan suaminya. Dia merasa bersalah karena sudah mengatakan hal itu, seharusnya dia menjaga ucapan pada Khalil.

Rika juga Evan saling terdiam seolah tidak mendengar ucapan mereka barusan. Dia berpura-pura tengah berbincang dengan putranya yang sedari tadi diam anteng memainkan game dalam ponselnya.

Khalil bangkit dari duduknya karena dia merasa sudah tidak ingin berlama-lama berbincang dengan mereka tanpa adanya Maura di sana. Percuma saja dekat dengan keluarga wanita yang sangat dicintainya, jika sosoknya tidak berada di tengah-tengah mereka untuk apa?

"Saya permisi dulu."

Naluri mencekal pergelangan tangannya mencoba menahannya agar tetap di sampingnya. Dia merasa jika pembicaraannya belum selesai.

"Kenapa marah?" tanya Naluri lirih.

Tidak ada jawaban dari Khalil, dia cepat menepis cekalan istrinya. Pria itu melangkah pergi begitu saja meninggalkan keluarga Naluri tanpa kata.

Wanita yang mengenakan gamis berwarna toska itu menyeka air matanya mencoba untuk tetap kuat menghadapi sikap suaminya.

Umi Farida meraih tangan putrinya, lalu dia menautkan jemarinya dengan sangat erat seolah memberikan kekuatan pada Naluri jika di sampingnya ada dia yang akan selalu menguatkan.

"Maafkan, Umi ya, Nak."

Naluri menggeleng pelan, dia berusaha menutupi kesedihannya karena alur kehidupannya memang sudah menjadi takdirnya harus seperti ini.

"Umi tidak salah. Kak Khalil itu sangat baik, meskipun dia tidak mencintaiku." Wanita itu terkekeh-kekeh pelan seolah mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.

Rika merasa prihatin pada adik angkatnya, dia harus menanggung semuanya sendirian. Kalau saja Maura tidak meninggalkan acara pernikahannya mungkin Naluri akan hidup dengan tenang di pondoknya.

"Mbak enggak suka dengan sikap Khalil seperti itu sama kamu." Rika menggeleng pelan, saking tidak mengertinya dengan sikap iparnya yang ternyata sangat dingin pada istrinya sendiri.

"Enggak apa-apa, Kak."

"Semua ini karena Maura. Maafkan kakakmu, Sayang." Umi mengusap lembut wajah putri angkatnya. Dia merasa bersalah karena sudah membuat Naluri menderita menjadi pengganti pengantin kakaknya.

"Apa kamu ikut pulang aja ke rumah?" tanya Rika mengajukan saran.

Dengan kuat Naluri menggeleng pelan, "aku sudah sah menjadi istri Kak Khalil, Mbak. Apa pun yang terjadi akan kuhadapi."

"Kalaupun Maura kembali kamu akan menghadapinya juga, Luri?" tanya Umi Farida, membuat putri angkatnya bungkam seribu bahasa.

***
Yuk baca ceritaku yang lain juga 🤗

PENGGANTI PERAN PENGANTIN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang