27. Odd

4.4K 545 168
                                    

Peringatan keras. Khodam Miil mau bacot dikit.

Saya selama ini tanggapin komentar kalian secara santai karena memang suka bercanda. Kalian ngumpat dalam konteks playful dan memang terbawa suasana cerita, saya terima. Masih saya balesin, masih dibawa main-main juga.

Tapi, saya gak suka lihat ada yang ngumpat berlebihan di kolom komentar. Apalagi pas adegannya ... santai. Bukan yang emang penuh emosi gitu. Parah banget sampe ada yang ngata-ngatain bego, dst. Sakit hati saya capek-capek mikirin alasan biar tindakannya logis, tapi tokoh-tokoh saya dikata-katain begitu. Apalagi mereka lagi anteng dan gak berulah kayak dulu si Dami di chapter 41.

Saya yang tanamkan logika atas semua tindakan mereka. Sampai mereka cuma jalan-jalan santai ke mall atau rebahan pun saya kasih logika alasannya kenapa.

Kritik yang membangun sama sekadar ngata-ngatain doang itu beda, ya. Gak perlu saya sebut siapa namanya, biar sadar diri.

Gak suka dengan alur? Gak suka dengan penokohan? Silahkan cari cerita lain yang kalian suka. Daripada di sini cuma nabung dosa gara-gara ngumpat, mending ke yang lain aja. Gak usah dibawa terlalu serius, ini hanya fiksi. Zelian 3 itu murni fiksi. Beda sama Zelian 1 sama 2 yang ada potongan kisah nyatanya dikit. Saya juga gak maksa buat baca Zelian 3, kok.

Buat sendiri karakter sempurna kalian karena di kisah Zelian semuanya punya kekurangan. Rangkai sendiri kisah sempurna kalian karena imajinasi saya gak harus ikutin apa yang kalian mau.

Gak usah baca tulisan amatiran bego kayak gini. Buang waktu doang.

Hfttt.

Oke, khodamnya Miil sudah puas mengeluarkan unek-unek. Hihi 😊 Maaf jika kurang berkenan bagi kalian.

Selamat menikmati :)

*****

"Papa! Ikan Cupang Vano muter-muter! Hihihi...."

"Coba, bisa salto, gak, ika--aduh!" Rafa melirik Arin yang melotot ganas. Pinggangnya lumayan pedih karena dicubit tadi. "Kenapa, sih, by?"

"Kalau ngajarin Vano itu yang bener-bener! Jangan ngaco gitu, Raf.... Nanti dia makin ketularan gak jelasnya kamu, ah."

"Lah? Aku, kan, bapaknya. Wajar, dong, kalau mirip."

Arin menghela napas lelah. Sepertinya, Vano memang sudah sulit sekali untuk diselamatkan. Semakin hari, tingkah lakunya semakin mirip Rafa. Semakin pening pula kepala Arin dibuatnya. Ada-ada saja laporan sang pengasuh tiap harinya.

Vano memancing ikan di kolam berenanglah, mencoret-coret wajahnya dengan eyeliner waterproof milik Arin, guling-guling di lantai karena tidak mau pulang dari rumah Mama Nina, dan masih banyak lagi kelakuan bocah berusia 4 tahun itu. Bagus sekali jika Arin tidak sakit kepala dalam seminggu. Bahkan, pernah sekali Elvano entah sengaja atau tidak memesan mobil-mobilan kecil yang bisa dikendarai dari ponsel Rafa.

Siapa yang ketar-ketir ketika kurir datang?

Tentu saja, pengasuhnya.

Dia yang tidak memegang uang banyak langsung menelepon Arin dan Rafa karena panik. Metode pembayarannya adalah Cash On Delivery. Uang jajan Elvano dan Arsya yang Arin titipkan untuk seminggu saja hanya lima ratus ribu rupiah. Itu pun hanya untuk jaga-jaga karena sebetulnya kudapan dan kebutuhan bagi anak-anaknya selalu tersedia di rumah.

Z̶e̶l̶ian 3: Definisi SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang