Oh, iya, bestie. Kalau ada typo atau missing word gitu, jangan ragu buat kasih tau Miil yaaa. Biar dibetulin wkwk. Mata Miil belakangan ini lagi rada-rada bermasalah aduh.
Jangan lupa tekan bintang dan tinggalkan dukungan 🍍
Selamat menikmati :)
*****
Sekitar seminggu telah berlalu semenjak percakapan 'ramah' antara Damian dan Renata. Pria itu menepati perkataannya. Dia mendampingi Renata dalam berkomunikasi dengan orang tua pasien mengenai kondisi putri mereka. Renata secara psikologis dan Damian secara fisiologisnya.
Tentu saja, hal itu membawa sedikit perubahan yang mereka harapkan, yaitu kesadaran. Ya, walaupun prosesnya tidak mulus karena penyangkalan di sana-sini sempat terjadi.
Kondisi Laila sendiri memang belum banyak membaik, tetapi setidaknya dengan didampingi Renata ketika jadwal makan, Laila sedikit banyak bisa menghindari serangan kecemasannya. Afirmasi positif dan dukungan yang diberi Renata banyak membantu gadis itu, ditambah permintaan maaf orang tuanya juga membuat batin Laila lebih tenang.
Makanan dan kalori masih membuatnya takut. Tak jarang, Laila menangis karena merasa bersalah setelah memberi tubuhnya asupan. Namun setidaknya, dalam pengawasan Renata dan suster jaga, Laila tidak berusaha memuntahkan makanannya lagi. Hal itu dapat membuat Renata dan Damian sedikit tenang. Renata percaya bahwa lambat laun, dengan didampingi orang-orang yang mendukungnya, Laila bisa pulih.
Walaupun belum sepakat untuk memasukkan Laila ke pusat rehabilitasi, orang tua Laila berjanji akan lebih memantau dan mendukung putri mereka dalam menghadapi situasi ini. Setelah dirasa cukup pulih secara fisik, gadis muda itu diperbolehkan untuk pulang, dengan catatan bahwa tingkah lakunya harus banyak diperhatikan.
Sebelum pulang, Renata dan Damian sudah berdiskusi mengenai obat-obatan apa saja yang sebaiknya diberikan pada Laila agar gejala depresinya berkurang, tetapi tidak mengganggu lambungnya lagi. Boleh dibilang, dengan mengedepankan profesionalisme dan penurunan tingkat kebrengsekan Damian yang suka menyebalkan dan mengusir Renata, kerja sama mereka tergolong cukup baik. Mereka bisa berkomunikasi tanpa ada emosi atau perseteruan seminggu terakhir ini.
Renata bersyukur bukan main karenanya. Setidaknya, berkerjasama dengan Damian tidak terasa seperti neraka seperti yang ia takutkan.
"Tetap semangat dan terus coba berpikir positif, ya, La. Ingat, kamu sangat amat pantas untuk memakan semua makanan lezat di luar sana. No guilt, no regret. Yang penting porsi gizinya seimbang." Renata tersenyum lembut, mencoba meyakinkan Laila yang kini sudah siap untuk pulang. Orang tuanya tengah berbicara dengan Damian sekaligus menerima resep obat di ruangan pria itu.
"M-makasih, Dokter Renata," jawab Laila lemah, tetapi senyuman kecil menghiasi bibirnya.
"Jangan lupa terus berkabar jika ada sesuatu, ya? Banyak yang sayang dan peduli sama kamu."
"Baik, Dokter."
"Good. Now give me a handshake?"
Dengan kekehan kecil di wajahnya, Laila pun menerima uluran tangan Renata. Mereka berjabat tangan untuk berberapa saat, seolah-olah Renata sedang mentransfer dukungan pada Laila.
"Jika di luar sana kamu mulai merasa cemas atau panik, kamu bisa melakukan butterfly hug untuk menenangkan diri. Seperti ini...." Tangan kanan Laila yang tadinya dijabat, sekarang Renata letakkan secara diagonal di pundak kiri. Lantas, diraihnya tangan kiri Laila dan diletakkannya di pundak kanan sehingga lengan gadis itu kini menyilang di depan dada.
"Kamu bisa memposisikan tanganmu di mana pun. Bisa di pundak, lengan atas, di bawah tulang selangka. Itu tergantung kenyamananmu," tuturnya dengan sabar. "Silahkan ubah posisi tangannya jika kamu kurang nyaman."
KAMU SEDANG MEMBACA
Z̶e̶l̶ian 3: Definisi Sempurna
Ficção Geral"Bagi saya, kamu itu definisi sempurna." ***** Itulah yang dulu Damian Arka Narendra--seorang dokter bedah digestif berusia 35 tahun--sering katakan kepada mendiang istrinya. Kata-kata itu tidak pernah menjadi omong kosong belaka karena di mata Dami...