Cklek.
Suara pintu terbuka yang begitu lirih terdengar. Ruangan gelap di dalam pun menyapa dengan keheningan andalannya. Ketika saklar lampu ditekan, cahaya akhirnya menang melawan kegelapan. Membuat semua nampak jelas.
Meskipun sudah lama tidak dikunjungi, ruangan itu masih sangat terawat karena jasa pembersihan memang rutin dipanggil seminggu sekali. Barang-barang di dalamnya juga tidak banyak berubah, masih terlihat mengilap, nyaman, dan tertata rapih.
Hanya saja, ada dua hal penting yang hilang dari sana.
Kehangatan dan pemiliknya.
Tanpa kedua hal tersebut, kini arti ruangan itu tidaklah lebih dari museum kenangan. Museum penuh memori atas masa lalu yang menyenangkan. Yang sayangnya, layaknya gurauan jahat, memori itu tidak lagi mengundang senyum atau tawa. Akan tetapi, menyisakan kesedihan dan air mata jika dikenang karena realita selalu menampar sang pemilik kenangan dengan sadis.
Tidak akan pernah ada tangis bayi yang terdengar dari sini.
Tidak akan pernah ada kerja sama untuk mengganti popok seperti pelatihan kelas parenting.
Dan, tidak akan pernah ada versi mini dari dirinya yang meminta untuk didekap dan ditimang semalaman....
Semuanya sia-sia.
Ia telah kehilangan segalanya.
Topeng pria tegar yang ia tunjukkan pada orang-orang pun terlepas saat itu juga. Pundak yang biasanya terlihat kokoh dan kuat menopan beban dunia, kini layu bak daun yang bahkan tak sanggup menopang butiran empun.
Dengan satu tarikan napas dalam, pria itu pun memasuki ruangan tersebut sembari memegang kotak kecil berisi kue tart. Lilin angka 33 yang tidak disulut api tertancap di atas kue tersebut, mendominasi diameter kue yang memang kecil karena untuk dimakan sendiri. Di dalam, ia mendudukkan diri di sofa dan meletakkan kotak tersebut di atas pangkuannya. Lantas, tangannya mengeluarkan ponsel dan memilih galeri untuk menampilkan wajah cantik sang istri yang begitu ia cintai.
Dadanya terasa sesak seketika.
"Selama ulang tahun, Sayang...." Susah payah ia coba sunggingkan senyuman yang belakangan ini sangat jarang terlihat. "Hari ini, kamu seharusnya berusia 33 tahun. Saya harap, kamu dan anak-anak kita bahagia di sana, di mana pun kalian berada." Mata pria itu mulai memanas.
"Saya ... kangen sekali sama kamu, Zel," tuturnya sendu. "Tahun ini terasa begitu berat tanpa kamu. Tapi, sesuai permintaan kamu waktu itu, saya mencoba untuk terus menjalankan hidup saya. Terus membantu orang-orang untuk sembuh.
"Apa ... kamu bangga pada saya, Zel? Saya mencoba yang terbaik untuk tidak mengecewakan kamu...."
Air matanya pun terjatuh.
"Maaf, saya belum sanggup mengunjungi tempat peristirahatanmu dan anak-anak di Garut. Maaf juga karena saya meninggalkan rumah kita. Ini semua ... terlalu berat tanpa kamu, Zel. Saya memang pengecut." Damian memejamkan matanya sejenak dan menghela napas berat. Sungguh, dadanya sesak. Merasa terhimpit oleh rasa rindu yang tanpa ampun menyiksa batinnya.
"Tapi," Damian kembali membuka mata, "sebagai gantinya, saya memberanikan diri untuk kembali ke sini, khusus untuk hari ini. Mendatangi tempat favoritmu dulu sebelum kamu pergi untuk selamanya. Kamar anak-anak kita, Zel. Saya harap, kamu bisa menoleransinya dan tetap senang merayakan pertambahan usiamu bersama saya....
"Sekali lagi, selamat ulang tahun, Sayang. Bahagia di sana bersama anak-anak. Saya mencintai kamu. Selalu. Selamanya."
******
That's for the prologue :)
All I could promise you is kisah ini bakal happy ending. Tapi, ini happy ending menurut siapa dulu 😏 Damian, saya, atau kalian? Wkwk.
Siap mengikuti, bestie?
Tekan bintang sama komen dulu, dong.
:)
25 November 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Z̶e̶l̶ian 3: Definisi Sempurna
Fiction générale"Bagi saya, kamu itu definisi sempurna." ***** Itulah yang dulu Damian Arka Narendra--seorang dokter bedah digestif berusia 35 tahun--sering katakan kepada mendiang istrinya. Kata-kata itu tidak pernah menjadi omong kosong belaka karena di mata Dami...