Bestie. Halo :)
Jangan lupa ramein, yah 💙 Hehe. Panjang nihhh. Masa gak rame? Chapter depan epilog lohh.
Selamat menikmati :)
****
"Uhm.... Jadi, Dokter Damian mau bicara apa ke saya?" Renata meremas jarinya di balik meja dengan gugup. Kini, mereka berdua sedang berada di dalam ruangan wanita itu. Untung saja, Zelina merupakan pasien terakhirnya hari ini.
"Ini tentang ... hal yang memberatkan saya dan Anda belakangan ini."
Renata menelan ludah mendengar ucapan Damian.
"Seperti yang kamu tahu, istri dan anak-anak saya telah kembali setelah menghilang dan dikira meninggal selama ini," lanjut Damian, membuat Renata semakin gelisah. "Dan belakangan ini, saya sudah banyak berpikir dan mempertimbangkan apa yang harus saya lakukan mengenai ... hal aneh di antara kita berdua."
"S-saya sudah tahu keputusan Dokter," sanggah Renata. Dia tidak perlu mendengarnya langsung untuk tahu.
"Benarkah?" Damian justru menaikkan alis.
Bukannya menjawab, Renata malah balik mengalihkan topik. "Istrinya Dokter gak apa-apa kita ngobrol berdua seperti ini? Dia tadi pergi duluan, loh."
"Saya sudah bilang untuk menungguh sebentar karena saya harus berbicara hal penting," jawab Damian tak terkesan. "Lagipula, mau dia kesal menunggu pun, saya yang terancam ditinggal. Dia yang memegang kunci mobil saya."
"Oh...?" Bibir Renata terbuka tidak percaya. Tak banyak pria yang rela mempercayakan mobil kesayangan mereka pada sang istri, tak peduli secinta apapun mereka. Tetap saja kemulusan kendaraan mengkilap itu nomor satu.
"Ya, jadi...." Damian meletakkan lengannya di atas meja. "... kembali ke pembicaraan sebelumnya, saya sudah membuat keputusan. Meskipun Anda bilang bahwa Anda sudah tahu, saya tetap harus menjelaskannya agar tidak terjadi salah paham."
Aduh, Damian.... Renata, kan, jadi tida berani menatapnya. Makanya, wanita itu lebih memilih untuk mengangguk dan menunduk di kursinya. "J-jadi, apa keputusan Dokter tentang ... pesan terakhir ibu saya?"
"Bismillaah...." Pria itu menarik napas dalam sementara Renata menutup mata dengan jantung yang berdegup kencang. "Setelah mempertimbangkan segalanya matang-matang, saya memutuskan untuk ... menerima pesan terakhir mendiang Ibu Raras dengan ikhlas."
Renata tidak pernah refleks mendongak secepat itu sebelumnya. "Apa?!"
"Tunggu. Jalan salah paham dulu," sanggah Damian tenang. "Saya telah memikirkan baik-baik tentang wasiat Ibu Raras serta permintaan Anda juga mama saya. Ma--"
"Permintaan?"
"--kanya, saya," Damian menekankan agar Renata mendengar dulu sampai habis, "akan menerima wasiat itu menjaga Anda ... sebagai seorang teman. Saya merasa bahwa itu adalah jalan tengah yang paling baik. Sebagai lelaki, saya tidak abai pada amanah yang diberikan. Sebagai anak, saya juga menuruti permintaan mama saya untuk berteman dengan Anda. Dan yang paling penting, saya melakulan hal itu tanpa mengorbankan siapapun, terutama keluarga kecil saya yang baru kembali.
"Maka dari itu, saya harap Anda berkenan dengan keputusan yang saya anggap win-win solution ini...." Damian mengakhiri penjelasannya, lantas menawarkan diri untuk berjabat tangan. "Bagaimana? Teman...? Anggap saja Anda sudah berhasil menaklukan saya dalam perjanjian dua minggu itu."
Beberapa menit hening karena mencerna apa yang terjadi, akhirnya kekehan Renata pun terdengar mengisi ruangan. Entah mengapa, kelegaan seolah mengalir dalam dirinya yang sudah lama gelisah karena digantung sekian lama. Ditatapnya Damian--yang saat ini kelihatan ramah sekali, lantas turun ke tangan pria itu yang masih terulur menunggunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Z̶e̶l̶ian 3: Definisi Sempurna
Ficción General"Bagi saya, kamu itu definisi sempurna." ***** Itulah yang dulu Damian Arka Narendra--seorang dokter bedah digestif berusia 35 tahun--sering katakan kepada mendiang istrinya. Kata-kata itu tidak pernah menjadi omong kosong belaka karena di mata Dami...