Oke, bestie. Ini adalah up terakhir selama insyaaAllaah seminggu kedepan.
Miil mau UAS dulu. Mau fokus eheheheh. InsyaaAllaah gak akan hilap hilapan dulu. Soalnya banyak yg harus dikejar 😭.
Selamat menikmati :)
*****
"Bagaimana perasaannya hari ini, Damian?"
"Entahlah.... Saya masih mencoba untuk baik-baik saja." Damian menghela napas di sofa empuk yang didudukinya. "Mulai mencoba lebih membuka diri dan ramah, mengikuti satu atau dua obrolan, mencari kegiatan menyenangkan, mencoba bergurau....
"Tapi, rasanya begitu melelahkan," tandas Damian, lantas memejamkan matanya.
"Apa semuanya betul-betul hanya terasa melelahkan?"
"Well," Damian kembali membuka mata, "sebetulnya, ada sedikit hal yang saya nikmati. Reconnecting dengan sahabat lama dan adik saya, contohnya. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir betul-betul berbicara dengan mereka. Padahal setiap hari bertemu."
"Terkadang, saking fokusnya dengan diri sendiri dan hal lain, kita sebagai manusia cenderung 'missing out' pada orang-orang dan peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Boleh jadi raga kita memang ada di dekat mereka, ada saat peristiwa tersebut. Namun, jika pikiran dan perasaan kita tidak ikut 'hadir' di sana ... hal itu sedikit banyak mirip dengan kondisi ketika kita tertidur sementara dunia terus berjalan. We just don't connect with anyone or anything at that moment."
Damian mengangguki perkataan Hera, psikolog paruh baya yang dulu pernah ia datangi ketika lovesick saat berjauhan dari Zelina. Dan, ironisnya, mungkin lovesick Damian bertambah parah semenjak benar-benar kehilangan Zelina. Sebuah rahasia kecil yang membuat suasana hati Damian belakangan ini lebih baik adalah sesi konsultasi dengan Hera.
Saat pertama kali melihat gangguan psikologis yang dialami pasiennya--Laila--di Bina Raga, hal itu menyadarkan Damian akan sesuatu.
Ia tidak boleh abai akan kondisi dirinya sendiri.
Ia tidak boleh membiarkan rasa dukanya terus menerus menghantui dirinya sampai parah. Masih untung dia belum ke tahap psikomatis--di mana pikiran atau gangguan psikologis mempengaruhi kesehatan fisik. Bangkit dari rasa duka ini memang sulit, tetapi akan lebih sulit rasanya untuk hidup seperti ini setiap hari tanpa mencoba.
Maka, langkah pertama yang ia lakukan dalam menyembuhkan diri adalah datang ke psikolog lagi seperti Hera. Terhitung, ini adalah pertemuan ke-3 mereka sejak seminggu lalu. Ada alasan tersendiri mengapa Damian memilih psikolog dibanding psikiater seperti Renata. Dirinya merasa bahwa dia belum butuh obat-obatan secara medis untuk mengatasi masalahnya.
Orang-orang sering salah paham mengenai psikolog dan psikiater. Keduanya berbeda meskipun sama-sama bergelung di bidang kejiwaan. Psikiater adalah seorang dokter medis yang mengambil spesialisasi di bidang kejiwaan. Mereka memiliki wewenang untuk meresepkan obat kepada pasien, seperti Renata memberikan anti depresan atau SSRI pada Laila untuk membantu mengurangi gejala depresinya. Sedangkan, psikolog merupakan sarjana psikologi yang mengambil S2 profesi psikolog. Mereka bukan dokter medis, karenanya tidak memiliki wewenang untuk meresepkan obat.
Kembali ke Damian, pria itu masih meresapi perkataan Hera. Ada bagian dalam dirinya yang sedikit tidak setuju mengenai pernyataan Hera, lantas bibirnya pun berucap," Sebetulnya, saya tidak sepenuhnya merasa bahwa hati dan pikirannya berada di tempat lain. Tentu saja saya merindukan dan memikirkan mendiang istri saya hampir setiap saat, tetapi saya tidak betul-betul 'melayang' dalam memori itu. Saya masih menyadari apa yang terjadi di sekitar saya, hanya saja ... saya cenderung menolak untuk peduli pada hal-hal yang menurut saya kurang penting....."
KAMU SEDANG MEMBACA
Z̶e̶l̶ian 3: Definisi Sempurna
Fiksi Umum"Bagi saya, kamu itu definisi sempurna." ***** Itulah yang dulu Damian Arka Narendra--seorang dokter bedah digestif berusia 35 tahun--sering katakan kepada mendiang istrinya. Kata-kata itu tidak pernah menjadi omong kosong belaka karena di mata Dami...