Hai, Bestie!
Yes, setelah sekian lama, akhirnya update lagi huhu. Ku baru selesai double internships dan baru kembali normal rutinitasnya sekarang setelah hectic ngejar laporan keuangan berbulan-bulan dan ngerjain transaksi dua perusahaan. (jangan ditiru. Capek. Beneran, deh)
Anyways, mau narsis dikit.
Happy Miil's Day! Udah dua taun, nih, ngurangin umur ditemenin readers huhuuu. Akhinya saya bisa nulis adegan 21+ dengan bebas hahahahahahaha.
Canda 🤧🤧🤧 Kali aja mau kasih hadiah onlen, ditunggu loh wkwkwk.
Selamat menikmati :)
******
"Anak-anak Papa yang lain tidak bisa diandalkan...," sindir Dani masam. Lantas, pria tua itu mengunci tatapan menantunya. Bagaimana mungkin seseorang bisa terlihat memelas dan berwibawa di saat yang sama?
"Apa boleh Papa titip Altheya pada kamu?"
Glek.
Zelina susah payah menelan ludahnya. Posisi memprihatinkan apa ini? Mengapa adik iparnya yang durjana itu tega menjadikan dirinya tumbal?
Wanita itu hanya bisa cengengesan dibuatnya, belum berani menjawab pertanyaan sang papa mertua.
*****
Malam itu, Zelina tidak bisa tidur seperti biasa. Dia over thinking. Padahal, Damian yang berada di sebelahnya sudah memejamkan mata sejak sejam yang lalu, tetapi sang istri masih gelisah karena ditempatkan di posisi sulitnya seperti ini.
Aduh. Apa yang harus ia lakukan? Apa setuju saja? Namun, itu artinya dia juga harus siap mental dan fisik karena kuliah dan mempelajari bidang baru serta mengurus bisnis makanannya yang masih berkembang tidak akan mudah. Apalagi dia punya tiga anak yang masih balita, plus satu bayi besar dalam tubuh pria dewasa. Mungkin Zelina akan bubuk karena kelelahan.
Akan tetapi, jika menolak.... Zelina tidak tega. Apalagi, tatapan Papa Dani tadi cukup memelas dan putus asa. Pria paruh baya itu kehabisan opsi karena darah dagingnya sendiri sudah angkat tangan semua. Padahal, Papa Dani ingin garis keturunannya yang melanjutkan perjuangannya mengelola Altheya pusat. Ya, setidaknya, sampai Erika dan Erlangga menikah, tanggung jawab ini jatuh ke pundak Zelina saja. Erika tidak salah ketika bilang bahwa suatu saat tahta rumah sakit tetap akan turun pada cucu-cucunya jika dijalankan oleh Zelina sekarang. Boleh jadi, menantu Papa Dani lainnya di masa depan bisa diajak berbagi tanggung jawab. Yang penting tetap akan turun ke cucu Narendra.
Entah kapan.
Ya, Tuhan.... Zelina bingung rasanya.
Sedari tadi, wanita itu sudah melakukan banyak hal. Mulai dari menonton video memasak, merubah posisi tidur, membaca cerita di aplikasi ponsel, melihat beranda media sosial, sampai mengecek statistik bisnisnya di aplikasi keuangan; kantuk masih ingin jauh-jauh dari Zelina. Ia masih gelisah.
Membiarkan matanya menjelajah ke sekeliling ruangan untuk mencari-cari sesuatu yang dapat dilakukan, akhirnya destinasi yang paling dekat pun dipilih. Damian. Zelina ingin mengganggu Damian saja. Siapa tahu kegelisahannya menular, kan? Zelina juga seperti ini karena Damian keras kepala tidak suka manajemen!
"Dam."
Zelina menusuk-nusuk lembut pipi Damian menggunakan telunjuknya. Belum ada respon.
"Dam."
"Dam."
"Dami...."
"Papa Dam."
Zelina mengembungkan pipinya sebal. Enak saja si Damian tertidur pulas! Menolak kehabisan akal untuk menggangu suaminya, Zelina pun nekat mendekatkan wajahnya ke wajah pria itu, lantas menggigit bibir pangeran tidur dengan gemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Z̶e̶l̶ian 3: Definisi Sempurna
Fiksi Umum"Bagi saya, kamu itu definisi sempurna." ***** Itulah yang dulu Damian Arka Narendra--seorang dokter bedah digestif berusia 35 tahun--sering katakan kepada mendiang istrinya. Kata-kata itu tidak pernah menjadi omong kosong belaka karena di mata Dami...