Halo, Bestie!
Sebelum baca, karena besok puasa, ku mau minta maaf kalau selama ini udah jadi bestie yang cinta damai banget dan gak suka bikin kalian termehek-mehek, apalagi bontang-banting perasaan kalian 👉👈
Anu, jadi, selamat menjalankan ibadah puasa besok untuk yang menjalankan. Dan, jangan lupa bahagia, Bestie 💙💙💙
Hehe. Btw, ramein, dong. Yuk. 5,3K words nih 😎😎😎🎉
Selamat menikmati :)
*****
"Kamu ... gak kerja lagi?" Zelina mengerutkan keningnya saat melihat Damian kembali ke sekat IGD setelah beribadah Zuhur. Ia bingung antara harus merasa bersyukur, bersalah, atau heran dengan kehadiran Damian di sini.
"Jam praktik saya di Altheya sebetulnya selesai sebelum Zuhur tadi," jawab Damian seraya menarik kursi tunggu dan duduk di samping Zelina. Pria itu masuk lengkap memakai scrub sehingga terlihat layaknya dokter yang bertugas. "Saya sudah mengirim izin dadakan ke Bina Raga untuk beberapa hari. Mungkin akan resign sekalian."
"Terus, pasien-pasien kamu di sana...?"
"Ada dokter lain. Daisha lebih penting."
Pun Zelina mengangguk susah payah dan kembali mengalihkan pandangan pada Daisha. Dia bukannya tidak suka Damian ada di sini bersama putrinya. Hanya saja, selama berobat bersama Daisha dulu, Zelina pernah merasakan pembatalan, pengalihan jadwal, dan pergantian dokter sepihak karena berbagai alasan. Entah karena pasien cito atau urusan pribadi. Sebagai pasien dan keluarganya, hal itu sedikit kurang berkenan meskipun Zelina tetap mencoba berprasangka baik. Dan, melihat Damian sekarang, ia jadi lebih mengerti keadaan.
Namun, apakah pasien-pasien Damian di luar sana bisa bersikap sama? Selama kontrol dulu, tak jarang Zelina melihat beberapa keluarga pasien menggerutu dan menyumpah serapahi dokternya ketika mendapat perlakuan seperti itu. Zelina hanya khawatir pada Damian.
Tak jarang, ucapan adalah doa itu betul adanya. Zelina tidak mau Damian mengalami hal yang buruk. Akan tetapi, ia juga tidak mampu menyuarakan kekhawatirannya. Zelina tidak mau membuat Damian merasa bahwa ia tidak diterima di sini jika menyuruh Damian bekerja.
Karenanya, untuk mengalihkan pikiran, Zelina pun mengusap lembut kepala Daisha. Mendapati pucatnya Daisha di atas brankar, sorot matanya menjadi sendu. Di balik kesedihan dalam mata mahoni itu, terdapat keinginan mustahil untuk menggantikan posisi putrinya dalam menghadapi penyakit.
Zelina hanya ingin anak-anaknya sehat dan bahagia. Itu saja. Tidak peduli jika nyawanya sendiri yang menjadi bayarannya.
Saat ini, ia, Damian, dan Daisha masih menunggu untuk pindah ke ruang perawatan. Zelina tidak membawa identitas Daisha sehingga harus meminta asisten rumah tangga di rumah Ervin untuk mengirimkannya ke sini. Meskipun biaya sudah tak menjadi pikiran, mereka tetap perlu berkas penting untuk mengurus administrasi perawatan Daisha. Ada SOP yang harus dijalankan. Data pasien sangatlah penting dalam sistem rumah sakit.
Ting!
Suara ponsel Zelina berbunyi. Syukurlah, kurir yang mengantar berkas-berkas Daisha sudah sampai di depan IGD. Karenanya, Zelina pun bangkit dari kursi seraya membawa tas selempang dan ponselnya.
"Titip Daish sebentar. Aku mau ambil berkas di luar."
"Nanti saya saja yang urus ke bagian administrasi."
"Jangan...!" timpal Zelina panik. "Aku aja. Kamu sama Daish dulu di sini." Sungguh, ia tidak mau Damian sakit hati saat melihat akte kelahiran Daisha yang hanya mencantumkan nama Naramira Olivia di sana sebagai ibu. Kolom nama ayah dikosongkan karena tidak ada datanya. Biarlah itu diurus nanti setelah Daisha sembuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Z̶e̶l̶ian 3: Definisi Sempurna
Fiksi Umum"Bagi saya, kamu itu definisi sempurna." ***** Itulah yang dulu Damian Arka Narendra--seorang dokter bedah digestif berusia 35 tahun--sering katakan kepada mendiang istrinya. Kata-kata itu tidak pernah menjadi omong kosong belaka karena di mata Dami...