38. Unsettling Small Truth

6.7K 863 502
                                    

Hai, Bestie!

Mana, nih, yang harapannya selalu dipatahkan?

Udahlah. Kalian dukung resepsi Dami sama Renata aja 🤭 pindah kapal sanaaa hihihi.

Selamat menikmati :)

******

"Ah, anjir! Psikopat, lo!"

Bruk!

Damian sedikit tersungkur ke belakang setelah mendapat dorongan yang cukup kuat dari orang di bawahnya. Pria itu masih sangat terpukul. Benar-benar tidak percaya dengan siapa yang berada di hadapannya saat ini hingga begitu terpaku sampai tubuhnya lupa untuk dikendalikan. Air mata masih mengalir dari matanya yang memerah ke pipi. Amarah yang tadinya memenuhi dada, kini tergantikan oleh berbagai perasaan membludak yang bahkan Damian tidak dapat deskripsikan sama sekali.

"Z-Zel...," lirihnya sekali lagi. Banyak, banyak sekali yang ia ingin ungkapkan. Namun, lidahnya begitu kelu sehingga hanya satu kata yang dapat terucap dari bibirnya. "Zelina...."

Tak memperdulikan reaksi orang di hadapannya, sosok ber-hoodie hitam itu justru sibuk tertatih-tatih bangun dari rerumputan, tempat di mana ia hampir menemui ajalnya tadi. "F*ck!" umpatnya setengah berbisik. Usahanya gagal sehingga ia kembali terbaring di rumput. Tubuhnya serasa remuk, semuanya sakit akibat mendapat serangan tiba-tiba hingga jatuh berguling-guling di taman tadi.

Jantung dan pernapasan orang itu juga masih belum normal akibat berlari tadi. Tak bisa dipungkiri, dirinya sangat kelelahan hingga sulit untuk bangkit lagi. Mau tidak mau, dia harus pasrah di rumput seraya mengumpulkan tenaga. Hujan rintik-rintik membasahi tubuh sementara gemuruh dan kilat masih membuatnya ngeri, jadi ia pun menutup mata erat karena takut.

Tak disangka-sangka, hanya selang tiga detik saja setelah itu, ia merasakan tubuhnya bagian atasnya diangkat dan didekap dengan erat. Gemetarnya tubuh dan suara isakan yang masuk ke telinganya cukup menjadi bukti bahwa orang yang tengah memeluknya ini menangis. "K-kamu pulang.... Kamu pulang."

Sosok itu tidak merespon karena tubuhnya tiba-tiba merasa lemah. Namun, dia masih bisa merasakan degupan jantung yang begitu keras dan napas yang memburu karena sekarang kepalanya berada di dada pria itu. Ia juga dapat merasakan betapa erat dan hangatnya pelukan pria rapuh yang sedang menangis tersedu-sedu. Melindungi dirinya dari kejamnya hujan dan dunia yang tidak pernah lelah menuntut. "Saya mohon. J-jangan pergi lagi," lirihnya Damian lemah. "Jangan pernah tinggalkan saya sendiri...."

Baru saja dirinya akan membuka mata untuk merespon, tiba-tiba tubuh yang tadi mendekapnya ditarik paksa. Membuat dirinya kembali terhempas ke tanah hingga sedikit meringkuk. Sialan! Tubuhnya sakit! Seenaknya sekali!

"Damian! Lo sinting?!" sergah Rafa sementara Rian dan Erlangga menarik Damian ke belakang dan menahan lengannya. Karena sedikit tertinggal saat berlari, mereka tidak melihat seluruh kejadian di taman. Dengan pakaian Damian yang kotor dengan noda tanah serta daun yang gugur, mereka kira Damian sedang bergulat dengan sosok tadi di rumput. Dari belakang, Damian bahkan terlihat seperti sedang mengunci dan mencekik leher sosok ber-hoodie hitam itu dengan lengannya. Makanya, mereka langsung panik menarik Damian agar pria itu tidak berubah status menjadi pembunuh.

"Gue tau lo marah! Tapi, gak gini caranya!" bentak Rafa. "Dia udah lemes gak berdaya gitu. Kalau mati urusannya makin panjang, anjing!" Rafa menjambak rambutnya ke belakang karena frustrasi. Namun, perhatian Damian tetap pada sosok yang sedang meringkuk membelakangi mereka semua.

"Abang," panggil Erlangga di sebelahnya. "Kita bisa serahin dia ke polisi. Abang gak perlu turun tangan buat balas dendam gini."

"Adikmu benar, Damian. Tristan biar jadi urusan polisi saja," sambung Rian. "Istighfar. Kamu bukan pembunuh."

Z̶e̶l̶ian 3: Definisi SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang