Selamat hari Selasa, Bestie 🙂
Jangan lupa liburan hihi.
Selamat menikmati :)
******
"Ayo, lagi!"
"Yes! Masuk! Lagi, Bang!"
"Jurus kodok ngesot!"
Kring!
"Masook!" Erika dan Erlangga bersorak heboh, membuat Damian yang terpaksa mendampingi mereka meringis. Setelah berbicara hati ke hati panjang lebar tadi pagi, akhirnya mereka berhasil membujuk Erlangga untuk tidak jadi pindah keluar.
Erika juga meminta maaf berkali-kali dan berjanji untuk lebih menghargai Erlangga. Dani dan Tita memang tidak berkata banyak, tetapi diam-diam mereka juga introspeksi diri dan berjanji untuk lebih memperhatikan Erlangga. Mendukung setiap langkah karir yang pria itu buat dan mengapresiasi hal-hal kecil yang berhasil ia raih.
Rasanya sungguh menyesakkan ketika Erlangga akhirnya mau terbuka mengenai perasaanya, mengenai apa yang ia alami selama ini. Sebagai orang tua, Dani dan Tita merasa gagal menunjukkan kasih sayang mereka pada Erlangga sehingga lelaki itu merasa tidak sebaik kakak dan adiknya. Pria itu hanya ingin diapresiasi. Dipandang. Itu saja.
Coba dari dulu mereka menunjukkannya. Mungkin, Erlangga tidak akan sampai merasa perlu untuk berpindah-pindah perusahaan demi mencari posisi yang lebih baik. Yang sayangnya, tidak pernah ada yang tertarik untuk membahasnya di rumah. Selain karena tidak ada yang begitu paham mengenai ranah pekerjaan lulusan teknik sipil, pencapaian Damian dan Erika memang lebih bersinar dan lebih sering dibahas di rumah sehingga Erlangga selalu merasa kalah saing.
Dari pembicaraan itu pula, Dani membuat keputusan baru. Erika boleh keluar rumah lagi, asal ada yang menemani. Entah itu abang-abangnya seperti sekarang, atau nanti Dani menyewa bodyguard betulan. Yang penting, Erika tidak boleh sendirian. Khawatir peristiwa seperti kemarin terulang.
Merasa bahwa masalah di dalam rumahnya berhasil ditangani dengan baik, Dani kembali menjalankan tugasnya di rumah sakit yang sempat tertunda. Tita juga berangkat ke kampus untuk mengurus persiapan ujian tengah semester. Tersisalah ketiga anaknya di rumah.
Erika tanggung membatalkan pertemuannya dengan klien gara-gara mandat Dani kemarin. Erlangga tanggung izin ke perusahaan tempatnya bekerja untuk pindahan. Kalau Damian, sejak mengundurkan diri dari Cipta Sentausa, jadwal praktiknya hari ini jadi menghilang sebagian. Tinggal pelayanan sore saja di Altheya nanti. Dan, di sinilah mereka sekarang. Di pagi menuju siang hari yang terik, mencoba merekatkan kembali ikatan persaudaraan yang sempat renggang dengan bermain permainan arkade di mall.
Lebih tepatnya, Damian menjadi babysitter bagi adik-adiknya yang sibuk bermain.
Seperti bocah yang terperangkap dalam tubuh manusia di pertengahan 20, Erika dan Erlangga begitu antusias menjajahi permainan demi permainan yang ada. Mulai dari capit boneka, boks karaoke mini, pump it up, sampai permainan basket sekarang, mereka berdua begitu heboh mengarunginya bersama. Beda dengan Damian yang kebanyakan mengekori, menonton, meringis, dan menggesekkan kartunya saja.
"Sudah dulu, ya?" Damian menawar. "Bentar lagi jam makan siang."
"Ah, Abang! Masih banyak yang belum dimainin ini! Tiketnya masih sedikit," timpal Erika.
"Itu. Yang masukin bola bekel ke angka-angka juga belom," tambah Erlangga. "Lumayan ada jackpot tau."
"Yang pearls tiketnya lebih banyak, Abang."
"Gak. Keburu gemes gue. Ya, kali, bola pingpong yang enteng disuruh dorong bola bekel jumbo yang beratnya naudzubillah?" sewot Erlangga.
"Lah? Daripada ngejar jackpot yang suka impossible soalnya tinggi sendiri lobangnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Z̶e̶l̶ian 3: Definisi Sempurna
Narrativa generale"Bagi saya, kamu itu definisi sempurna." ***** Itulah yang dulu Damian Arka Narendra--seorang dokter bedah digestif berusia 35 tahun--sering katakan kepada mendiang istrinya. Kata-kata itu tidak pernah menjadi omong kosong belaka karena di mata Dami...