Hai, bestie!
Udah lama, nih, gak saya sapa di lapak Zelian hihi. Sesuai judulnya, YES! Ini adalah free exchap buat kalian :)
Tapi sebelum itu, aku mau mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para pembaca, terutama yang sudah mengikuti dari zaman Zelian 1 sampai sekarang. Yang udah vote dan komen setiap chapternya, yang udah sabar nungguin tiap update. From the deepest of my heart, thank you for shooing away my loneliness, thank you for being the best supporters, and thank you for being my new family :)
Dan, aku juga sangat sangat sangaaat berterimakasih juga pada kalian yang sudah mendukungku di karyakarsa. Sebagai mahasiswa pengangguran yang harus mengatur keperluan rumah tangga serta kebutuhanku sendiri, aku betul-betul berterimakasih karena kalian rela menyisihkan yang kalian punya dan sudi menjadi perantara rezeki dari Tuhan untukku dan keluargaku. Rasanya suka terharu kalau suka ada notif yang mendukung di Karyakarsa. Seperti sebagian beban telah diangkat. Listrik, makan sehari-hari.... ya, ampun. Saya sampai gak bisa sebut aspek yang terbantu satu-satu. Bahkan, acara peringatan satu tahun meninggalnya ibuku yang akan dilaksanakan sebentar lagi juga terasa lebih ringan karena bantuan dari kalian.
Karena aku gak bisa kasih nasi kotak satu per satu pada kalian (layaknya acara pengajian pada umumnya), aku suguhkan sebuah bab ekstra di sini :) Semoga berkenan dan menyukainya. Semoga bisa pula menghadirkan senyuman di bibir kalian.
Sekali lagi, terima kasih banyak untuk kalian semua. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian dengan yang berlipat-lipat lebih baik 💙
Selamat menikmati :)
*****
"Apa ... normal jika saya gugup?"
Zelina yang masih menata makanan di piring dan kotak bekal tersenyum seraya menganggukkan kepala. "Normal banget, kok. No worries." Sementara anak-anak sedang asik sarapan di kursi tinggi mereka, Zelina sedang membantu suaminya menyiapkan amunisi untuk bekerja.
Ya, ini adalah hari pertama Damian kembali menjadi dokter bedah digestif setelah cuti panjang.
"Bagaimana jika kemampuan saya memang sudah menurun?"
"Ya, ditingkatin lagi,"
"Zel...."
Setelah meletakkan bekal makan siang di wadah tahan panas--agar bisa dihangatkan di microwave--dan secangkir kopi di meja, Zelina pun mencuci tangan dan menghampiri suaminya. "Kamu pokoknya jangan terlalu khawatir." Zelina merapikan bagian kerah Damian sedikit, lantas menangkup pipi pria itu. "You'll do just great. Pasien kamu bakal bersyukur dapet dokter yang handal buat bantu mereka seperti dulu."
"Tapi, sudah lama saya tidak--"
"Shh...." Zelina meletakkan ibu jarinya di bibir Damian. "Aku udah liat betapa kerasnya kamu latian beberapa minggu belakangan ini. Aku juga pernah denger kalau dokter itu gak boleh ragu waktu pegang pisau bedah di OK. Kamu tau? Kamu punya bakatnya, kamu punya pengetahuannya, kamu juga punya kemampuannya. Yang kamu butuhin sekarang itu ... cuma rasa percaya diri sama tenang." Wanita itu mengecup bibir suaminya singkat dan tersenyum. "Semakin kamu percaya diri di rumah sakit, makin baik juga hasilnya. Gimana bisa pasien percaya buat gantungin hidup mereka sama kamu kalau kamu sendiri ragu bisa tolong mereka?"
"Mungkin mereka hanya tidak memiliki pilihan lagi karena rekan saya yang lain sib--"
"Gak baik rendahin diri sendiri, Dam," potong Zelina. Kini, jari-jarinya merapikan rambut Damian yang baru dipotong rapi kemarin. "Kamu dokter yang hebat. Aku, anak-anak, sama keluarga besar percaya itu. Kamu selalu bisa diandalin kalau ada yang sakit di rumah. Lagian, selama liburan kemaren, kamu juga sering terima konsul dadakan dari ibu-ibu kompleks, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Z̶e̶l̶ian 3: Definisi Sempurna
Ficção Geral"Bagi saya, kamu itu definisi sempurna." ***** Itulah yang dulu Damian Arka Narendra--seorang dokter bedah digestif berusia 35 tahun--sering katakan kepada mendiang istrinya. Kata-kata itu tidak pernah menjadi omong kosong belaka karena di mata Dami...