17. An Open Door

5.1K 589 100
                                    

Hai, Bestie!

Selamat liburan 🙂 Oh, iya. Mau nanya. AU itu apa? Merasa kudet banget karena gak pake twitter wkwkwk👉👈

Jangan lupa sarapan sama belajar move on, ya.

Selamat menikmati :)

*****

"Renata. Kamu sudah booking katering untuk pertunangan nanti? Jangan sampai lupa, Nduk."

"Bajunya juga. Perasaan, kamu belum beri tahu Ibu kapan ingin belanja." Raras menambahkan perkataan Hartono. Renata yang langsung ditodong oleh kedua orang tuanya mendadak ciut.

Aduh, bagaimana ini...?

"Nduk? Kenapa diam saja?" tanya Hartono.

Renata pun nyengir setengah hati, jantungnya mendadak melakukan terjun payung di dalam dada. "Aduh. Bagaimana, ya, Yah...?"

"Bagaimana apanya? Kamu belum ketemu kontak katering yang enak? Nanti Ayah minta rekomendasi dari rekan Ayah di kantor."

"B-bukan gitu.... Ren--"

"Kak Reren ndak jadi tunangan sama Kak Panca," tandas si Bungsu yang bernama Malik dengan santai. Suasana ruang makan di pagi itu langsung hening. Renata berubah pias sementara kerutan langsung terbentuk di dahi kedua orang tuanya.

"Tidak jadi bagaimana? Kamu putus sama Panca? Kenapa?" serbu Raras.

"Ren sama Panca ... sudah gak cocok lagi."

"Kak Panca selingkuh dari Kak Ren sama perempuan lain." Sekali lagi, si Malik membuat ruangan kembali mencekam. Renata sudah gemas sekali ingin menjitak adiknya yang kurang sensitif itu. Sebelas dua belas sama Damian, brutal sekali kalau berhubungan dengan kenyataan. Tidak ada pemanis kata sama sekali.

Lain kali, Renata harus memasang perkakas kedap suara di kamarnya. Menyebalkan sekali si Malik itu kalau terus mendengar percakapannya karena kamar mereka bersebelahan.

Berbeda dengan Renata yang menunduk dalam sementara hatinya menggerutu, Raras dan Hartono saling melirik tak percaya dengan kabar yang baru saja mereka dengan. Rasa marah, jengkel, dan sakit hati mulai menyeruak di dalam dada.

"Ibu sudah tau kalau si Panca itu tidak baik dari awal," gerutu Raras. "Kamu tidak pernah mau dengar Ibu, Ren!"

"Maaf, Bu. Maaf, Ayah...." Sungguh, Renata tidak enak hati. Apalagi, Hartono belum mengeluarkan sepatah kata pun.

"Maafmu tidak akan merubah keadaan Renata," tegas Raras. "Begini akibatnya kalau kamu tidak mau mendengarkan saran Ibu! Ayah juga! Sekarang jika sudah seperti ini, kita harus bagaimana? Kita sudah terlanjur mengundang sanak keluarga jauh untuk datang! Mau ditaruh di mana harga diri keluarga kita kalau bilang pertunangannya tidak jadi?"

Mata Renata mulai berkaca-kaca. Jari-jari meremas satu sama lain di bawah meja. Ia juga tidak menginginkan hal ini terjadi. Mengapa semuanya disalahkan padanya? Ia butuh dukungan. Kenapa malah diperlakukan seperti tersangka perselingkuhan?

"R-Renata...." Wanita itu menarik napas dalam agar tidak menangis. "N-nanti Renata yang jelaskan ke yang lain," cicitnya.

"Tapi, mereka akan tetap bertanya pada Ibu atau Ayah juga akhirnya! Kamu berpikir sampai sana atau tidak? Mereka bisa saja menganggap kalau Ibu dan Ayah gagal menjaga kamu!"

"M-maaf, Bu...." Buru-buru Renata mengusap air matanya yang kurang ajar menampakkan diri. "Renata akan coba perbaiki masalah ini."

Raras masih menatap putrinya tajam, dadanya sesak. Ia terlalu dipenuhi emosi untuk berpikir jernih sekarang. Karena itu, Raras pun memutuskan untuk pergi dari sana. "Membuat malu saja," gumamnya pelan, yang masih dapat terdengar oleh Renata.

Z̶e̶l̶ian 3: Definisi SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang