Future Doctor

218 151 46
                                    

"Bang, lo udah nembak Mbak Kiara belum?" tanyaku kepada Bang Jan yang sedang tiduran di sofa depan TV.

"Gitu lah," jawabnya singkat tanpa penjelasan.

"Serius gue," aku masih penasaran dan menanti jawaban.

Bang Jan terus mengganti saluran TV dan memperbesar volume suaranya. Dari raut wajahnya yang datar dan tak banyak cakap, sepertinya ia ditolak.

Lebih baik aku diam dan meninggalkan Bang Jan sendirian di ruang keluarga.

Saat aku beranjak dari karpet depan TV dan hendak berjalan ke kamar. Tiba-tiba saja suara volume TV dikecilkan oleh Bang Jan, akhirnya ia mulai membuka suara.

"Gue udah nembak."

Aku membalikkan badan dan berlari mendekati sofa di tempat Bang Jan rebahan.

"Terus lo diterima nggak?"

"Nggak tahu," jawabnya yang masih singkat.

"Alah, kalau diliat dari wajah sama mood lo, gue rasa dia nolak lo, deh. Nggak heran sih, kalau gue jadi dia juga bakal nolak lo," cibirku dengan semangat.

"Apa lo bilang? Sialan! Lo adek gue bukan, sih?" ucapnya yang hampir melempariku dengan remote TV yang digenggamnya.

"Nah, gini nih contohnya. Lo mah kasar sama adek sendiri. Cewek juga nggak ada yang mau punya pacar pemarah," sahutku sambil menunjuk remote yang digenggamnya erat.

Bang Jan terdiam lesu dan meletakkan remote TV di atas meja. Sedari tadi ia tak banyak bertingkah dan lebih banyak berdiam diri di kamar. Biasanya jika di hari libur, ia rajin sekali mengganggu waktu tidurku. Tapi, hari ini tidak. Ia terlihat seperti mayat hidup. Entah apa yang terjadi semalam saat nonton konser Ne-Yo.

"Gue nggak tau ini penolakan atau bukan. Dia bilang tiga bulan lagi ada UN. Jadi dia nggak mau pikirannya bertambah hanya karena pacaran," akhirnya Bang Jan membuka suara.

Melihat abangku yang sedang galau seperti ini terkadang membuatku merasa iba dan berempati untuk menghiburnya.

"Itu mah ditolak, Bang. Cewek kalau nggak suka sama seseorang biasanya punya banyak alasan buat nolak," sahutku dengan ilmu sok tahu.

Bisa kulihat dari raut wajah Bang Jan yang langsung berubah menjadi pesimis dan sedih.

"Tapi, Jun, alasan Kiara masih masuk akal, kok. Namanya juga udah kelas 3," Bang Jan masih bersikeras seperti anti-penolakan.

"Iya, walaupun fokus UN, masa dia nggak butuh orang yang bikin semangat buat ngejalanin harinya? Udah lah, Bang, terima aja," saranku yang mantap dan yakin untuk Bang Jan supaya lekas move-on.

"Terima apaan?" Bang Jan mengernyitkan dahinya.

"Ya, terima aja kalau lo bukan tipenya Mbak Kiara. Lagian kalau gue jadi Mbak Kiara, gue juga bakal pilih Mas Angkasa daripada lo," ucapku polos.

Bang Jan yang mendengarnya langsung naik pitam. Ia tidak terima jika dirinya harus dibandingkan dengan orang lain. Emosinya mulai memuncak. Dengan jurus saktinya--ia mengangkat remote setinggi lengannya--bersiap memukulku dengan remote yang sudah dicengkramnya.

Indra penglihatanku yang langsung peka terhadap sensor motorik Bang Jan, membuatku tersadar untuk segera mengambil langkah kuda-kuda menghindari serangannya.

Dengan sigap aku berlari kencang menghindari Bang Jan. Langkah kakinya yang panjang membuatku semakin takut jika tertangkap. Tak ada henti-hentinya ia mengejarku dari ruang tamu, ruang makan, bahkan aku harus keluar dari rumah tanpa mengenakan sandal agar dia tidak mengejarku lagi.

Gardenia Familia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang