White Lies

198 147 66
                                    

Hari ini kami disuruh Bu Ningsih untuk menghibur Jansen. Setelah pertikaian dengan orang tuanya kemarin, Jansen lebih banyak mengurung diri di kamar.

Meskipun kami semua adalah teman dekatnya--kami sepenuhnya tidak berhak mengatur perasaan Jansen yang sedang bersedih. Apalagi ini menyangkut urusan keluarga. Kami tak punya ranah untuk mencampuri masalahnya.

Jansen yang kukenal adalah anak yang super ceria. Selama delapan tahun bersahabat dengannya, aku tahu betul cara menghibur Jansen dikala sedih atau dikala kami sedang bertengkar. Namun, pada kasus ini berbeda. Jansen tidak bertengkar dengan kami. Lalu, bagaimana cara kami menghiburnya ketika ia memiliki masalah yang pelik dengan keluarganya?

Hingga suatu hari Andra yang sudah tak tahan dengan sikap dingin Jansen mulai menyuarakan pendapatnya. "Lo ngapain cemberut ke kita? Gue smackdown juga kalau lo ngambek ke kita! Nggak usah pasang-pasang wajah melas lo ke kita. Nggak mempan!"

"Iya, kita nggak ada salah apa-apa malah kena imbasnya," imbuhku yang ikut kesal melihat bibir Jansen yang terus mengerucut.

"Iya, Sen, udah lah, nyerah aja. Belum terlambat buat lo belajar," sahut Leo sembari duduk di kasur Jansen.

Jansen bergeming. Tak menanggapi ucapan Andra dan kawan-kawannya. Baginya ucapan kami hanyalah sebuah angin malam yang berlalu. Tak ada seorang pun yang berani mendekatinya dengan raut wajah yang kerap kali tertekuk bak sebuah patung.

"Jadi fotografer belum tentu bisa jadi dokter. Tapi, jadi dokter ada kemungkinan bisa jadi fotografer. Ya, nggak, Jun?" ucap Indra seraya mengangkat tangan kanannya untuk memberikan kode tos.

Aku mengangguk setuju. "Gue ikhlas kok kalau 3 Idiots berkurang satu. Yang penting lo jangan lupain gue sama anak-anak di sini."

Jansen mulai tersenyum pelit. Raut wajah terlihat santai.

Sejak adikku demam kala itu, ibu dan bapak sudah tidak pernah lagi menyetok soda dan minuman dingin di kulkas. Kebetulan sekali Bu Ningsih memberikan jamuan untuk kami para gapreters berupa minuman soda dan makanan kecil. Ya, inilah yang dinamakan rezeki di rumah tetangga.

Aku tak menanggapi si kembar dan Leo yang sedang menghibur Jansen di kamarnya. Yang kulakukan adalah memakan Chitato yang dianggurkan oleh mereka. Sebelum mereka sadar dan mengambil jatah camilanku, lebih baik aku menghabiskannya terlebih dahulu.

Tenggorokanku mulai terasa kering, diam-diam aku mengambil botol Sprite yang ada di belakang Jansen tanpa menanyakannya terlebih dahulu.

Paling minuman ini juga untuk kami. Untuk apa juga aku meminta izin. Gumamku.

Dengan segenap kekuatan tangan yang kumiliki--kubuka tutup botol Sprite yang sangat keras itu. Biasanya jika tutup botol sulit dibuka, aku selalu meminta tolong dibukakan oleh gapreters, hanya saja kali ini berbeda. Aku tidak mau mengganggu acara sesi curhat dan menenangkan Jansen hanya karena tidak bisa membuka tutup botolnya.

Tutup botol kudekapkan erat-erat ke dada dan kuputar tutup botol Sprite yang keras itu.

BBBBRRRRRRRRR....

Buih soda menyembur wajah dan seluruh pakaianku. Aku sangat terkejut hingga mataku terbelalak. Para gapreters kompak menghadap belakang--ke arahku dan tercengang menatapku.

"HAHAHAHAHAHA."

Tebakanku benar. Mereka pasti akan menertawai kebodohanku yang tersembur minuman soda. Dengan cepat aku mengelap wajahku dengan kedua tanganku dan menutup botol sialan ini rapat-rapat.

Tak kusangka perbuatan sial ini bisa menghibur Jansen hingga ia tertawa terbahak-bahak melihat wajahku yang seperti ini. Tak perlu repot-repot menghibur Jansen dengan sebuah kata-kata mutiara. Cukup berikan dia cerita lucu dan kebodohan temannya--dia juga akan tertawa dengan sendirinya.

Gardenia Familia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang