Tell Me If You're Not Okay

185 100 106
                                    

Terik matahari Bekasi mencapai tiga puluh empat derajat celcius. Di mana orang-orang lebih memilih bersembunyi di dalam rumah, menyalakan kipas angin, dan mengunci pintu rumahnya.

Siang ini masih tak ada Bang Jan di rumah. Hanya ada aku, Ibu, dan Dek Ta. Sedari tadi Ibu sibuk di dapur memasak sesuatu. Sementara aku dan Dek Ta berada di ruang keluarga. Sebal, lagi-lagi saluran TV tak bisa kupindah karena Dek Ta sedang menonton acara Bolang. Padahal ia sendiri tak menonton acara itu--sibuk dengan mainan tamiya barunya. Jika diam-diam aku ambil remote itu dan mengganti salurannya, ia pasti akan merengek dan mengadu kepada Ibu. Ah, lagi-lagi aku harus mengalah untuk tidak menonton FTV siang favoritku yang diperankan oleh Vino G. Bastian.

Aku menyalakan tombol kipas angin dan mengarahkannya ke badanku. Aku mulai menata posisi bantal sofa dan bersiap-siap untuk rebahan di depan TV. Belum sampai tengkuk kepalaku mendarat di bantal sofa, tiba-tiba Ibu memanggilku untuk segera menghampirinya.

"Kak, sini sebentar," ucap Ibu dari dapur.

Dengan terpaksa aku berjalan menuju dapur untuk menanggapi permintaan Ibu. "Ada apa, Bu?"

"Kak, kasih soto ayam ini buat si kembar, ya. Daripada beli makan di luar terus bikin boros. Mending makan ini bisa dipakai buat sore juga," jelas Ibu seraya menyiapkan wadah besar untuk diberikan ke rumah si kembar.

Walaupun hanya butuh belasan langkah untuk bisa tiba di rumah si kembar, tapi raga ini malas sekali untuk keluar rumah di siang hari bolong yang panasnya sudah seperti simulasi neraka. Tapi kembali lagi, tak ada yang bisa diandalkan di rumah ini selain aku.

Aku mengambil hoodie Bang Jan yang menempel di dinding pintu kamarnya. Dan segera kupakai penutup kepala hoodie untuk melindungiku dari paparan sinar matahari yang menyengat. Lebay memang.

Rumah si kembar terlihat tertutup. Entah ada orang atau tidak. Aku meletakkan wadah soto di meja kecil yang ada di sebelah pintu rumahnya. "An, In, bukain pintunya," ucapku menggedor pintu rumah si kembar seraya mengintip dari jendela rumahnya.

Aku tak menemukan jawaban. Kedua kali kuketuk pintu rumahnya, tetap tak ada yang menanggapi. Mungkin saja mereka lagi keluar atau sedang berada di rumah Leo. Aku segera membalikkan badan dan membawa wadah soto itu ke rumah. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara benda besar terjatuh di rumah si kembar. Sontak membuatku terkejut.

Kutaruh wadah itu di meja dan segera kubuka pintu rumah si kembar yang ternyata tak terkunci. Aku berlari menyusuri tiap-tiap ruangan di rumah si kembar. Pikiranku mulai tak jernih--takut ada hewan yang masuk ke rumah si kembar atau ada seseorang yang menyelinap ke rumah mereka untuk mencuri. Hanya itu yang terbesit di kepalaku. "Aaannn, Innnn, di mana kalian?" Teriakku.

Saat aku memasuki kamar Andra, aku sangat terkejut melihat Andra sedang terkapar di lantai kamarnya. Ia merintih seraya memegang dadanya erat-erat. Matanya tampak sayu, suaranya lirih seperti sedang memanggil namaku untuk menghampirinya. Bisa kulihat jelas penyakit asmanya kambuh mendadak. Aku segera berlari--membantunya bangkit dari lantai--mengangkatnya dengan bahuku untuk bersandar di tempat tidurnya. Berat!

Dengan cepat aku mencari inhaler--penanganan pertama untuk penderita asma. Andra masih terus merintih, namun bisa terlihat ia sedang menunjuk arah meja belajar di mana letak inhaler itu berada. Aku menemukannya dan segera memberikan alat hirup kecil itu kepada Andra.

Dengan dada yang masih terasa sesak, aku berusaha menopang bahu Andra untuk duduk tegak--ia mengocok inhaler-nya terlebih sebelum alat hirup itu ditekan. Kemudian Andra menarik napasnya dan menahan sekitar sepuluh detik lalu membuang napasnya perlahan-lahan.

Aku masih menopang bahunya yang begitu berat. Wajahku cemas mengkhawatirkan Andra.

Hingga beberapa menit kemudian, napasnya mulai teratur. Aku sangat lega melihat Andra sudah membaik walaupun kondisinya masih lemas.

Gardenia Familia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang