Family Dinner

102 43 33
                                    

Tisha dan Kevin juga ikut berpamitan pulang. "Tante, terima kasih banyak ya atas bantuannya. Kami pamit pulang dulu," ucapnya seraya membereskan mainan Kevin dan Dek Ta yang terkapar di karpet depan TV.

"Loh, mau ke mana? Udah di sini dulu aja sampai Mama kalian pulang." Ibu menyuruh Tisha untuk tetap tinggal di rumahku sampai Mamanya datang menjemput.

Rasa kikuk di antara aku dan Tisha pun membuat suasana menjadi hening. Daripada berdiam diri terus, aku mengajak Tisha masuk ke kamarku.

Tisha memapahku dengan hati-hati. "Jun, pasti sakit ya, lutut lo gara-gara didorong Papa?"

"Ah, ini. Santai aja. Gue udah sering jatuh kok, jadi udah biasa," timpalku.

Tisha menarik napas panjang. "Coba gue pulang lebih awal, pasti lo nggak akan begini dan gue bisa ketemu sama Papa," sesalnya.

"Emang kapan kalian terakhir ketemu?" Tanyaku memberikan Tisha camilan yang ada di meja belajar.

"Hmm, tahun lalu kayaknya. Sebelum Papa nikah lagi," ucapnya mengunyah keripik pisang.

"Tadi Kevin cerita kalau dia juga kangen sama Papanya. Emang istri barunya nggak bolehin kalian ketemu Bokap?" tanyaku penasaran.

"Enggak. Dia emang nggak suka dengan kita. Dan juga Papa nggak ada inisiatif untuk mencari kita." Tisha menyibakkan rambutnya seraya menunjukkan bahunya yang ada di balik seragamnya. "Lihat deh, Jun. Bekas ini nggak bisa hilang. Bekas tendangan Papa waktu gue mergokin dia kencan sama Mak Lampir yang sekarang jadi istrinya."

Mataku menyipit--ngilu melihat bekas lebaman di tubuh Tisha yang rupanya tak hanya di satu tempat. Banyak kejadian kelam dibalik lebam di tubuhnya.

"Papa sering mukul gue dan Mama. Tapi, dia nggak pernah mukul Adik. Nggak lama, Papa sama Mama pisah. Papa minta hak asuh Adik untuk ikut dengannya--tapi, Mama menolak. Papa bersikukuh untuk bawa Adik tinggal dengan keluarga barunya." Tisha berhenti mengunyah, "Karena tahu sifat Papa yang keras, Mama langsung ambil tindakan dengan cari rumah baru yang jauh dari Papa. Dan ketemulah di Gardenia."

Aku memotong ucapannya, "Lah, terus Bokap lo tau dari mana kalian tinggal di sini?"

Tisha mengedikkan bahunya. "Entahlah, mungkin tetangga lama kita di sana."

Aku terenyuh mendengar kisah pilu Tisha yang ternyata sangat menyedihkan. Air mataku mengalir tiba-tiba. Bagaimana bisa seorang 'Bapak' tega menyakiti hati anaknya sendiri.

Aku memberikan ide, "Tish, kalau lo merasa nggak aman di rumah, lo bisa tidur di kamar gue kok."

Tisha hanya tersenyum ringkas. "Tenang Jun, gue dan Adik bisa bela diri kok buat lawan Papa."

Tak lama terdengar suara pintu kamar yang diketuk oleh Ibu. "Kak Tisha, nanti makan malam di sini ya. Kalian mandi dulu aja. Kevin juga harus mandi bentar lagi ngaji sama Okta," pinta Ibu dengan lembut.

"Nggak usah repot-repot, Tan. Aku bisa makan di rumah kok."

"Makan di sini aja, Tante udah masak banyak loh. Sekarang kalian mandi dulu di rumah, habis itu ke sini lagi ya." Ibu menoleh ke arah Kevin yang masih asyik bermain dengan Dek Ta, "Kevin mandi dulu ya, habis itu ngaji sama Okta."

Kevin mengangguk semangat dan menuruti perintah Ibu.

"Ya udah, Tan, kalau gitu saya sama Kevin pulang dulu untuk mandi, nanti kami balik lagi ke sini." Tisha dan Kevin pulang sementara untuk mandi dan berganti pakaiannya.

Bukan Ibu namanya kalau paling getol soal urusan mengingatkan anak-anaknya untuk mandi. Dek Ta mandi lebih dulu dan kemudian dilanjutkan olehku.

Tak lama Kevin sudah menunggu Dek Ta di ruang tamu dengan baju koko berwarna biru. Tisha pun juga baru datang ke rumah setelah ia membersihkan rumahnya.

Gardenia Familia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang