Artisha's POV (2)

75 35 8
                                    

Hari-hari gue begitu indah tanpa adanya Juni. Sudah beberapa hari ini gue selalu berangkat sekolah bersama gapreters. Istirahat pun begitu, gue selalu mampir ke kelas mereka untuk membagikan bekal makan siang gue. Berkat Jansen, gue bisa diterima baik oleh gapreters.

Gue belum bisa sepenuhnya menggantikan posisi Juni di mata Leo dan Andra. Tidak bisa dipungkiri sorot mata mereka kosong tiap kali menatap gue. Dan tidak pernah fokus tiap kali gue ajak bicara.

Suatu hari ketika gue dan Indra sedang bercanda, Leo memanggil nama Juni dan berlari mengerjarnya. Tapi tak butuh waktu lama ia kembali lagi. "Lo kenapa nggak bilang kalau Juni udah masuk?"

Gue menyambar dengan penuh emosi. "Kenapa gue harus kasih tau lo?"

Leo terdiam.

Gue kecewa. Leo berani menggertak gue hanya karena kehadiran Juni. Jika bukan karena Juni, mungkin Leo masih bersikap baik seperti biasa. Gue mulai merasakan ketakutan. Gue takut gapreters akan meninggalkan gue.

Sepulang sekolah gue menunggu di depan pintu kelas gapreters agar bisa pulang bersama mereka. Gue sengaja menunggu lebih dulu agar Juni dan Serena tidak ikut pulang bersama gue.

Gue dan para gapreters mampir ke tempat Pop Ice langganan. Senang sekali mereka mengajak gue makan di tempat ini. Mereka tidak lagi menanyakan Juni karena sebelum pulang gue sudah memberitahu mereka kalau Juni sudah pulang duluan bersama Serena.

Pak Satpam berlari meneriaki gue. "Neng Tisha aman, kan?" Alis gue mengkerut. Gue mengangguk. "Kenapa, Pak?"

"Tadi Papanya Neng datang ke sini mau bawa Kevin."

Gue mematung. Tangan gue kaku berkeringat dingin. Suara gue terbata. "Papa di sini, Pak? Kevin di mana?"

"Bapak Neng Tisha udah pulang diusir BuGar gara-gara buat keributan di sini." Pak Satpam tiba-tiba menunjukkan wajah sedihnya di depan gue. "Maafin saya ya, Neng. Saya lalai menjaga Cluster. Saya kira Bapak Neng Tisha cuma mau ketemu anak-anaknya. Makanya saya izinkan masuk."

Saking lemasnya mendengar nama Papa, gue hampir saja terjatuh. "Terus Kevin di mana, Pak?"

"Di rumah Neng Juni. Untung aja tadi Neng Juni cepat tanggap teriak, jadi semua warga bisa dengar teriakannya. Saya jadi kasihan sama Neng Juni. Gara-gara nolongin Dik Kevin, dia sampai terjatuh didorong Bapaknya Neng Tisha."

Sekujur tubuh gue membeku. Memori masa kecil yang ingin gue hapus tiba-tiba hadir kembali. Memori kekerasan Papa yang selalu menyakiti gue dan Mama harus Juni rasakan. Lutut gue terlemas dan cepat berlari untuk mencari adik gue.

Gue mengetuk pintu rumah Juni dengan kencang. Tak ada jawaban. Gue berteriak bahkan menangis di depan rumahnya. Tak lama Juni membukakan pintu rumah dengan langkah kaki tertatih-tatih. Gue langsung berlari memeluk Kevin. Gue menangis tersedu-sedu, memastikan adik gue baik-baik saja. Kevin hanya menepuk bahu gue pelan. "Adek nggak apa-apa, Kak. Nggak usah nangis lagi," jemarinya yang lembut mengusap air mata gue yang terus mengalir.

"Papa bilang apa tadi, Dek? Papa sama siapa?"

"Papa nyuruh Adek buat tinggal di rumah Papa. Katanya Papa punya banyak mainan di rumah."

"Terus Adek mau ikut?"

Kevin terdiam sejenak. Lalu menggeleng pelan. "Nggak, Kak. Adek maunya sama Kakak dan Mama aja. Tadi Papa bilang cuma bisa ajak Adek. Makanya Adek nggak mau."

"Papa nanyain Mama atau Kakak nggak, Dek?"

Kevin menggeleng.

Gue menyeringai. Tersenyum pahit. Tertawa singkat walau tak ada yang lucu. Gue tidak tahu harus berekspresi apa dengan semua cerita yang adik gue lontarkan. Adik gue masih terlalu kecil untuk mengetahui keadaan sebenarnya. Tidak bisa dipungkiri, hati gue remuk mengetahui Papa tidak mencari gue dan Mama. Tidak perlu Mama deh, coba lihat gue sebagai darah dagingnya sendiri. Apa Papa tidak rindu dengan gue? Apa Papa tidak malu menelantarkan gue? Apa Papa tidak punya rasa bersalah kepada gue? Kalau ada orangtua durhaka, itu sudah jelas Papa orangnya.

Gardenia Familia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang