Sparing

103 41 14
                                    

Bersyukurlah kalian yang bersekolah di Indonesia. Saat kakak kelas sedang susah-susahnya memikirkan Ujian Nasional, adik kelas justru sangat menantikan waktunya tiba untuk bisa menikmati momen liburan.

Walaupun angkatanku libur selama sepekan--sejujurnya, aku tidak terlalu senang. Pertama, bosan. Kedua, uang jajanku terancam berkurang.

Waktuku di rumah lebih didominasikan sebagai Inem alias asisten rumah tangga (pembantu). Jadwalku setiap pagi adalah bersih-bersih rumah, mengantar Dek Ta sekolah, dan siangnya aku baru terbebas dari suruhan Ibu. Tapi, sorenya tetap harus mencuci dan menyapu.

Pernah suatu hari aku protes mengapa hanya aku saja yang disuruh bersih-bersih sementara Bang Jan tidak pernah sekali pun disuruh. Nyatanya, tiap Bang Jan bersih-bersih rumah, barang-barang penting yang tergeletak di lantai selalu ia buang ke tempat sampah. Katanya sampah tidak terpakai. Belum lagi, aku yang kena marah karena rambut rontokku menyumbat saringan kamar mandi. Ia sengaja menaruh mainan Dek Ta di atas lemari yang super tinggi dengan alasan supaya 'rapi'. Tidak hanya itu, pakan burung beo Bapak juga disatukan dengan pakan ikan dalam satu wadah. Sejak saat itu, aku mengerti mengapa Bang Jan tidak pernah disuruh bersih-bersih rumah oleh Ibu. Alias tidak becus dan banyak omel.

Aku kerap berbohong kepada Ibu dengan mengatakan akan belajar kelompok di rumah Serena demi mendapatkan uang saku. Padahal sebenarnya, aku menghabiskan waktu dengan bermain bersama Serena dan bukan belajar. Hari ini rencananya aku mau ke rumah Serena lagi.

"Jun, belajar kelompok di sini aja lah. Ajak Tisha dan anak-anak lain. Nanti Ibu buatkan puding cokelat, deh," rayu Ibu.

"Beneran, Bu?" Tanyaku senang. Padahal sebenarnya aku ingin minta uang saku. Tapi apa boleh buat, puding cokelat buatan Ibu menggetarkan imanku untuk berhenti berbohong.

Ibu mengangguk dan mengambil celemek. Aku kembali ke kamar dan mengirimkan pesan broadcast ke gapreters, Tisha, dan Serena.

Bel berbunyi. Kedatangan mereka lebih cepat dari dugaanku. Apalagi kalau bukan karena puding dan paksaanku.

"Mana pudingnya?" Todong Jansen.

"Masuk dulu. Bawa buku kagak lo?" Tanyaku celingak-celinguk.

"Bawa. Yang lain udah dateng belum?" Tanyanya lagi.

"Noh," aku menunjuk si kembar yang baru keluar dari rumahnya.

Jansen langsung terbirit-birit masuk rumahku dan memanggil Ibu, "Tan, puding buat Jansen fla-nya banyakin ya."

Ibu terkekeh. "Tenang, buat Jansen nanti yang paling banyak."

Sebenarnya, sudah beberapa hari ini aku tidak banyak bertemu dan bermain dengan gapreters. Mereka lebih sibuk bermain di luar. Hidup mereka tidak lepas dari stik PS dan game online di warnet. Sesekali mereka main futsal bersama Bang Jan.

"Mau belajar apaan sih, Jun?" Kesal Andra. Waktu tidur siangnya harus kusita untuk belajar kelompok.

"Apa aja. Buat bukti ke Nyokap kalau kita belajar kelompok. Lo bawa buku apa aja?" Tanyaku.

"Buku tulis kosong," ucapnya ringan.

Sial. "Lo, In?" Pertanyaan retoris. Indra tidak bawa apa-apa.

"Gue kan mau makan puding bukan mau belajar," jawab Indra enteng.

Aku menendang betis Indra yang tidak melakukan suruhanku membawa buku. Kulihat Tisha dan Leo berjalan bersama ke rumahku. Dan di belakangnya ada Serena yang berjalan.

Aku mendengus dan menyuruh mereka duduk di ruang tamu. Aku mengeluarkan semua buku paket yang ada. Hanya Tisha dan Leo yang kulihat semakin kompak. Hari ini mereka mengenakan pakaian yang sama dan membawa buku yang sama, buku paket Bahasa Inggris. Padahal aku hanya menyuruh mereka membawa buku. Entah kebetulan atau disengaja.

Gardenia Familia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang