Artisha's POV (1)

95 34 7
                                    

Gue tertunduk malu. Pikiran gue kosong. Semua orang menatap gue. Badan gue menjadi lemas.

Gue benar-benar bodoh, bertindak gegabah tanpa berpikir panjang. Selama ini gue selalu merasa diabaikan oleh semua orang. Makanya gue memutuskan untuk bunuh diri karena memang tak ada seorang pun yang sayang dengan gue. Kalau bukan karena Jansen yang menyuruh gue untuk mengangkat telepon dari adik gue, mungkin sekarang gue sudah mati.

Gue mendengar suara Kevin begitu bersemangat. Suara manjanya menyeru ke dalam sanubari gue. Sebisa mungkin gue merespons suara adik gue dengan tenang agar ia tak mengetahui keadaan yang sebenarnya gue lakukan di sini. Setelah telepon dimatikan, badan gue genetar dan air mata gue mengalir deras.

Gue teringat semua momen indah bersama Kevin dan Mama. Hanya keluarga yang gue miliki saat ini. Mereka pelita dalam hidup gue. Gue ingin selalu bersama mereka sampai tua nanti. Melihat Kevin tumbuh dewasa serta melihat Mama bahagia.

Gue ingat betul waktu pertama kali gue pindah ke Cluster Gardenia. Kami sekeluarga nekat pindah hanya untuk menjauh dari Papa. Gue ketakutan akan kehadiran Papa, bahkan hingga detik ini gue masih sangat membenci Papa. Saking bencinya, gue tidak percaya akan kata-kata 'cinta'. Bagi gue, cinta itu hanya ilusi semu.

Harapan gue saat pindah ke Gardenia adalah diberikan kenyamanan dan kebahagiaan untuk tinggal di sini. Tidak butuh lama sejak harapan itu gue ucapkan, tiba-tiba seorang laki-laki sepantaran gue berdiri di depan gue dan melindungi gue dari lemparan bola basket yang hampir mengenai kepala gue.

Gue menatap mata anak laki-laki itu. Ia begitu cemas dengan keadaan gue. Memastikan bahwa gue tidak terluka. Seketika gue terkesima melihat ketampanan dan kebaikan anak ini. Dan bodohnya, gue termenung cukup lama sampai akhirnya anak laki-laki itu pergi meninggalkan gue.

Mungkinkah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama?

Sebagai penghuni baru di Gardenia, gue mengelilingi rumah tetangga baru untuk berkenalan. Gue pergi ke rumah Blok A Nomor 1.

Anak perempuan yang terlihat sepantaran gue membuka pintu rumahnya. Ia menyuruh kami duduk di ruang tamu. Gue menatap anak perempuan itu tanpa berkedip.

Bagaimana bisa hanya dengan celana training olahraga dan memakai baju Barong serta rambut dicepol ke atas bisa terlihat sangat cantik?

Gue mengamati setiap gestur anak perempuan itu ketika sedang berbicara. Ia terlihat ceria dan mudah mengobrol dengan siapa pun. Bahkan dengan mudahnya ia bisa cepat akrab dengan adik gue. Anak perempuan itu sangat pandai bersosialisasi.

Tak lama ibunya datang. Memperkenalkan dirinya dan silsilah keluarganya. Ia mengenalkan anak perempuan di sebelahnya. Juni namanya. Juni Monita Reiny atau Hujan Bulan Juni. Nama yang sangat indah seperti orangnya.

Hari pertama gue bersekolah, gue berangkat bersama Juni. Ia banyak bercerita tentang lingkungan sekolah di  Nusantara.

Tiba-tiba terdengar suara rombongan anak laki-laki memanggil Juni. Ada empat anak laki-laki dengan seragam yang sama seperti gue berlari menghampiri kami.

Pandangan gue langsung tertuju pada anak laki-laki yang pernah menolong gue kala itu. Sepertinya mereka sangat dekat dengan Juni. Dua orang temannya langsung memperkenalkan dirinya kepada gue. Jansen dan Indra.

Gue masih menunggu si anak tampan ini memperkenalkan dirinya kepada gue. Tapi nyatanya, ia terlalu sibuk dengan Juni sampai ia tidak menggubris keberadaan gue. Tak lama Juni langsung memperkenalkan gue kepada dua anak laki-laki yang belum berkenalan dengan gue. Leo dan Andra.

Akhirnya gue tahu orang yang menolong gue kala itu, Galileo namanya. Selain itu, ada si kembar Gardenia alias Andra dan Indra. Gue belum bisa membedakan wajah mereka karena terlalu identik di mata gue. Tetapi setelah gue amati, Andra lebih tinggi dibandingkan Indra. Ia juga mempunyai lesung pipi di sebelah kanan, sementara Indra tidak. Dan terakhir adalah Jansen, si anak laki-laki berkacamata kuda.

Gardenia Familia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang