Love Behind National Exam

123 35 32
                                    

"Jun, kepala lo masih sakit?" Tanya Bang Jan.

"Mendingan abis dikasih obat."

"Kalau ada yang berani gangguin lo di sekolah, panggil gue. Lo ngapain sih nggak cerita ke gue?" Bang Jan kesal.

"Iya, gue takut lo nggak percaya sama omongan gue," sahutku polos.

"Jun, lo itu adik gue. Masa gue lebih percaya omongan orang lain ketimbang adik gue sendiri?" Bang Jan membukakan botol jus dan memberikannya kepadaku. "Kalau punya masalah tuh jangan dipendam sendiri. Lo yang akan tersiksa nantinya. Lo punya gue yang selalu ada buat lo. Gue paling nggak bisa lihat lo sedih, apalagi ditindas sama orang lain."

Air mataku tiba-tiba membasahi pipi. "Maaf ya, Bang. Gue nggak mau repotin lo. Gue juga takut lo malu punya adik jelek kayak gue.

Bang Jan mengusap rambutku. "Jun, maafin gue, ya? Mungkin selama ini bercandaan gue udah kelewatan sampai lo jadi begini. Gue nggak pernah malu punya adik secantik dan sebaik lo. Maafin gue juga yang sering bikin lo nangis. Gue nggak bermaksud begitu." ucap Bang Jan lirih. "Lo nggak pernah ngerepotin gue sama sekali. Justru gue sebagai kakak yang sering ngerepotin lo. Maaf ya."

Bang Januar refleks memelukku dengan lembut. Ini pelukan hangat yang pernah kudapatkan dari Bang Januar. Terakhir aku merasakan pelukan ini saat aku masih SD, waktu terjatuh dari sepeda.

Aku semakin terisak-isak dipeluknya. Abangku mengelus rambutku lembut.

"Bang?"

"Kenapa?"

"Kenapa pas SMP lo marah waktu teman-teman lo tau gue adik lo?" Sampai sekarang aku belum tahu apa alasan dibalik kemarahannya.

Bang Jan melepas pelukanku. Ia terkekeh sekilas. "Gue marah karena teman-teman gue banyak yang suka sama lo. Gue nggak mau lo tertarik atau tertipu sama teman-teman gue. Makanya, gue selalu marahin lo supaya lo jauh dari teman-teman gue. Emang selama ini lo ngiranya apa?"

Aku terdiam berpikir. "Karena lo anak populer, pintar, dan OSIS, makanya lo malu mengakui gue adik lo yang bodoh dan jelek," ucapku menebak.

"Jun, berhenti deh untuk ngomong bodoh, jelek, nggak pantas, nggak ada yang sayang, nggak ada yang peduli. Kalau misal ibu dengar omongan lo yang kayak gini, ibu pasti bakal sedih. Ibu ngelahirin lo dengan penuh perjuangan dan membesarkan lo dengan penuh kasih sayang. Terus, kenapa lo nggak mensyukuri dengan apa yang lo punya sekarang? Kalau lo nggak mau dihina orang, lo harus buktiin lo itu berharga. Tunjukkin apa yang lo bisa. Kurangin berprasangka buruk sama diri sendiri. Lo harus percaya diri. Lo cantik, lo pintar, lo berbakat, lo pantas untuk mendapatkan apa yang lo inginkan."

Aku menyeka air mataku setelah mendengar petuah dari Bang Jan.

***

Akhir-akhir ini teman-teman Bang Jan sering main ke rumah. Biasanya mereka hanya berkumpul di depan portal Gardenia.

Aku terkejut mendapati teman-temannya sedang berkumpul di ruang tamu. Salah satu temannya menyapaku.

"Hai, Juni, adiknya Januar."

Aku menoleh ke arahnya dan membalas ucapannya dengan senyuman ringkas.

"Juni kelas sepuluh berapa?"

"X-4, Kak."

"Boleh minta pin BB?" Ucapnya sambil mengeluarkan BlackBerry-nya.

Bang Jan langsung keluar dari kamar. Matanya menyalak menatapi temannya. "Baru ditinggal ganti baju, udah modus ke adik gue. Nggak ada. Awas lo ya macam-macam sama adik gue."

Aku bergeming.

"Jun, nanti kasih tau PIN BB lo lagi ya kalau nggak ada abang lo," ucapnya tidak takut ada abangku di sebelahnya.

Gardenia Familia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang