"Jun, Cotton Candy-nya lagi habis nih. Kalau Very Berry Strawberry mau nggak?" Suara Leo yang sedang meneleponku.
"Boleh, mana aja yang penting gratis," jawabku di telepon.
Leo terkekeh. "Yah, Jun, voucher-nya masih nombok nih. Nanti lo bayar sisanya ya? Gue udah terlanjur beli."
Aku panik. "Hah, mahal nggak? Kenapa dibeli sih, kalau mesti nombok?Tunggu-tunggu, gue pinjam uang Bang Jan dulu." Telepon langsung kumatikan meskipun Leo masih komat-kamit.
Tidak butuh waktu lama, Leo sudah berdiri di depan pintu rumahku. "Juniii."
Aku berlari ke teras dan membawa uang lecek pecahan lima puluh ribuan dan beberapa receh yang tersisa. "Bentar, Le," ucapku sambil menghitung uang.
Leo hanya tersenyum sambil membawa kotak Dunkin' Donuts pesananku dan es krim Baskin Robbins yang ia tawari tadi di telepon.
"Nih, Jun." Leo memberikan Baskin Robbins setengah galon dan satu kotak donat pesananku.
"Sori ya, Le, jadi ngerepotin lo. Dari kemarin Dek Ta rewel terus pengin donat," sahutku.
"Santai, kan searah juga dari akuatik."
"Uang donatnya tadi udah dititipin ke Bunda ya. Terus, berapa nih kekurangan es krimnya?" Tanyaku sambil menghitung kembali uang pecahanku.
Leo mengggaruk-garukan kepalanya. Diam sejenak. Mulutnya tampak ragu bersuara.
"Dua ratus ribu, Jun," ucapnya dengan bola mata yang masih fokus menatap uang lecek yang kupegang.
Wajahku tak terkontrol setelah mendengar nominalnya--hanya mampu menganga.
"Hah? Serius udah pakai voucher masih segitu?" Aku geleng-geleng kepala. Pusing karena tidak punya uang segitu. "Le, maaf, duit gue cuma gocap. Itu juga gue pinjam dari Bang Jan. Nanti gue cicil ya sisanya?" Pintaku dengan raut wajah memelas.
Leo tergelak. Bahkan tawanya begitu lepas, seperti melihat lawakan Komeng dan Adul yang sedang bertengkar di acara komedi televisi. "Jun, Jun." Leo masih terkekeh setelah menerima uang dariku. "Jun, gue cuma bercanda. Masa gue yang nawarin lo es krim, tapi gue nyuruh lo bayar? Gue cuma ngerjain lo doang." Leo merapikan lembaran uang tadi dan memberikannya langsung di atas telapak tanganku. "Simpan aja uangnya. Kayak baru kenal gue aja, sih? Kalau lo mau makan es krim, cokelat, atau maka di cafe, gue bisa ajak ke mana pun lo mau. Jadi jangan sungkan-sungkan bilang gue."
Dahiku mengernyit. Refleks memukul bahu Leo karena sudah berhasil membuatku panik.
"Kampret ya lo! Gue sampai berantem sama Bang Jan perkara kekurangan duit," gerutuku kesal.
Tiba-tiba Tisha datang ke rumahku sambil membawa tas penyimpanan DVD dan sekantong plastik belanjaan dari minimarket.
"Hai, Jun, Hai, Leo. Lagi pada ngapain nih? Seru banget kayaknya," ucapnya dengan senyum yang tak kusuka.
Semenjak Kak Stevie memperingatkanku untuk berjaga jarak dengan Tisha, rasanya aku jadi malas mengobrol banyak dengannya.
Aku tak mengindahkan perkataannya. Tersenyum kecut saja. Bahkan Leo pun hanya meliriknya sekilas.
"Leo, makasih ya atas rekomendasi klub renangnya. Adik gue sekarang punya hobi baru. Semoga dia bisa jadi atlet kayak lo." Tisha yang selalu sumringah tiap di depan Leo.
"Iya sama-sama. Nanti kalau senggang, gue usahain bakal latih Kevin lagi." Leo menatapnya singkat.
Bola mata Tisha membesar, senyumannya melebar. "Kevin jadi anak yang ceria sejak mengenal dunia renang. Dia udah nggak pernah nanyain Bokap lagi. Semua itu berkat lo, Leo.." Tisha mengambil sesuatu dari kantong plastik belanjaannya. "Le, ini buat lo sebagai rasa terima kasih gue," ucapnya malu-malu sambil memberikan cokelat Cadburry.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gardenia Familia [COMPLETED]
General FictionKeluarga Bulan yang terdiri dari Ayah bernama Agus, Ibu bernama Septi, Kakak bernama Januar, Adik bernama Okta, dan aku bernama Juni. Tinggal di sebuah perumahan yang bernama Cluster Gardenia. Keluarga Pak Agus adalah penghuni pertama di Cluster Ga...