This too Shall Pass

84 24 22
                                    

Kericuhan yang kami buat di sekolah sontak mendapat teguran langsung dari guru BK. Cepat-cepat aku menghubungi Bang Jan untuk segera membantuku. Ia berlari kebingungan melihatku, Tisha, Serena, Leo, dan Jansen berada di ruangan berkasus ini.

Setelah berkompromi dengan guru BK, kami diperbolehkan keluar ruangan dengan syarat menerima sebuah hukuman. Selama seminggu kami disuruh untuk membersihkan toilet dan menyapu lapangan sekolah yang kotor.

Aku, Serena, dan Tisha membersihkan toilet wanita. Terlihat Tisha masih terus memegang kepalanya. Badannya pun terlihat sangat ringkih.

"Udah, lo ke kelas aja. Biar gue sama Juni yang kerjain ini. Tapi awas ya lo kalau besok nggak bantuin kita," tegur Serena menatap Tisha.

Tisha langsung meletakkan gagang sikat di samping wastafel. Masih terus memegang kepalanya. Tisha mengangguk sebelum langkahnya keluar dari toilet.

"Dan, jangan kayak tadi lagi. Kalau lo perlu bantuan lo bisa PING gue atau Juni di BB. Lo harus sehat." Suara Serena sedikit merendah.

Aku tersenyum menatap mereka. "Iya, lo mau dibawain apa? Roti? Bubur? Biar gue bawain nanti habis bersih-bersih."

Tisha masih membelakangi posisiku dan Serena. Ia berdiri cukup lama tanpa bergerak sedikit pun. Aku berjalan dua langkah mendekatinya. Namun, kuurungkan lagi karena melihat napasnya tersengal-sengal. "Tish...." Ucapku. "Lo nggak apa-apa?" Memastikan keadaannya.

Tisha tak menjawab dan langsung berlari ke kelas.

Tak lama Jansen mengetuk pintu toilet wanita sambil celingak-celinguk, "Tisha mana?" Aku menjawab, "Di kelas. Masih nggak enak badan."

Saat aku melangkah menghampiri Jansen, tiba-tiba mataku terbelalak mendapati Leo berdiri di belakang Jansen. Bola mata kami berserobok kikuk. Penuh pertanyaan.

Leo melambaikan tangannya seraya mengedarkan senyuman manisnya kepadaku. Jansen langsung ngibrit menyusul Tisha. Sementara Serena langsung berlari mengikuti jejak Jansen. Mereka berdua kompak meninggalkanku bersama Leo di sini, depan pintu toilet wanita. 

Aku dan Leo terdiam cukup lama sampai akhirnya kami berbasa-basi membahas WC yang tersumbat, toilet yang bau, dan obrolan tak penting lainnya. Saat di mana aku menatap matanya, secara bersamaan kami saling bertabrakan kata. Lalu terdiam. Menunggu siapa yang duluan bicara. Lalu tabrakan kata lagi. "Jadi gimana, Le? Lo duluan deh yang ngomong," ucapku mengalah.

Leo terdiam sepersekian detik sampai akhirnya berani bicara. "Soal kejadian tadi, gue serius suka sama lo, Jun." Leo memberi jeda atas ucapannya, "bukan sebagai teman atau tetangga. Tapi sebagai Juni Monita Reiny, perempuan hebat yang mengisi hati gue sejak gue mengenal lo dari kecil."

Aku tersentak. Mataku berkedip cepat. Gagap untuk merespons pengakuannya. Badanku terasa sulit bergerak. Bukankah sekarang aku harus jumpalitan gembira? Tapi, kenapa mendadak bengong? Ini bukan mimpi, kan?

Leo membuyarkan lamunanku dengan menjentikkan jemarinya. "Jun, lo marah ya karena gue suka sama lo? Kalau lo nggak suka nggak apa-apa kok. Anggap aja gue nggak ngomong kayak tadi. Maaf ya, Jun," ucapnya lesu.

Aku menggeleng dengan cepat. Menggoyangkan lima jemariku untuk menangkis ucapannya. "Gue suka sama lo, Galileo!" Ucapku bersemangat. "Dari kita masih SD gue udah suka sama lo. Setelah lo pindah ke Surabaya, gue masih mikirin lo. Gue masih nggak nyangka lo juga suka sama gue," ucapku tanpa jeda.

Senyuman manisnya semakin mengembang. Kini Leo melepaskan genggaman tanganku yang menempel pada gagang pel dan kini ia memegang tanganku erat-erat. "Makasih ya, Juni."

Aku tersenyum melihat tanganku yang digenggam lembut oleh Leo. "Jadi, kita pacaran?" Tanyaku menatapnya.

Leo mengangguk cepat. "Iya, haha." Leo tertawa canggung. "Aku sayang Juni." Sekarang tatapannya mirip seperti anak kucing yang menggemaskan.

Gardenia Familia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang