Leo masih belum diperbolehkan sekolah sampai keadaannya benar-benar membaik. Setiap pulang sekolah, para gapreters selalu ke rumahnya untuk bermain PS. Jansen dan si kembar acap kali mengajakku ke rumah Leo, namun selalu kutepis dengan berbagai alasan.
Sementara itu, Tisha jadi lebih sering menjenguk Leo. Baik untuk memberikan makanan atau hanya sekadar basa-basi dengan Bunda Lia di depan rumah.
Kini aku dan Tisha seperti orang asing. Tidak pernah menyapa lagi. Jika kami berpapasan, kami memilih bungkam dan membuang muka.
Pernah saat aku dan para gapreters berangkat sekolah bersama, tiba-tiba Jansen mengajak Tisha untuk ikut dengan kami. Seketika suasana menjadi hening. Si kembar mungkin menyadari bahwa hal ini memiliki sebab, tapi tidak dengan Jansen, ia masih saja tidak peka.
Setiba di sekolah, Jansen menarik tanganku dan membawaku ke balkon atas. Aku ikut berlari dibawanya. "Ada apa, sih?"
Jansen termenung sesaat. Ia menatapku serius. "Gue dengar dari Indra, lo lagi berantem ya sama Tisha?"
Aku menarik napas panjang. "Oh. Biasa, urusan cewek," singkatku.
"Gue amat-amatin sejak awal kedatangan Tisha ke Gardenia, kalian tuh nggak pernah akur. Ribut terus. Ada masalah apa, sih?" Jansen bersedekap.
"Bukan urusan lo," balasku ketus. "Nggak semua cerita harus gue ceritain ke lo."
"Ya ilah, Jun, sensi amat lo. Gue kan sobi lo dari zaman bocil. Lo tuh aslinya nggak begini ke orang lain. Pasti masalah berat, kan? Ngaku aja, deh." Jansen terus memaksaku. Ia memutar badannya dan menatapku fokus. "Ijun, walaupun gue nggak tau apa permasalahan kalian, gue cuma mau kasih saran. Kalian ini tetangga, teman sekelas, bahkan duduknya pun depan-belakang. Apa nggak capek berantem terus? Jun, kasihan loh Tisha. Hidup dia tuh berat. Dulu dia sering cerita ke gue sampai nangis-nangis kalau dia benci sama hidupnya. Tolong ngertiin posisinya sedikit aja, Jun." Kini Jansen memohon kepadaku.
Aku langsung membalas tatapan Jansen dengan raut wajah kesal. "Sen, gue paham lo suka sama Tisha. Dan gue juga paham keluarganya kayak apa. Gue selalu ngerti kok sama posisinya. Lo pikir gue nggak banyak mengalah demi dia?" Suaraku meninggi, membuat orang yang berlalu-lalang mampu mendengarnya. "Asal lo tau, selama ini di mata Tisha gue cuma dianggap seperti lalat--alias pengusik buat hidupnya. Lo nggak tau apa yang udah dia perbuat ke gue sampai gue semarah ini. Gue masih diam karena gue menjaga nama dia dan nama lo sebagai sahabat gue yang suka sama dia."
"Nggak mungkin Tisha ngomong gitu. Dia orangnya lembut, kok. Gue tau lo kesal tapi kayaknya dia nggak bakal ngomong sekasar itu ke lo."
"Terserah lo mau percaya apa nggak. Gue nggak peduli. Kenyataannya emang begitu. Tisha selalu marah tiap gue ada di dekat kalian. Terutama Leo. Dan sekarang mereka pacaran, gue nggak bisa selalu di dekat kalian."
Jansen terlihat kebingungan. Ia terus menggarukkan kepalanya. Alisnya mengerut. "Jun," sebelum melanjutkan ucapannya, aku langsung menyanggahnya. Aku malas mendengar semua pembelaan Jansen untuk Tisha. "Udah lah, gue mau ke kelas."
Aku melihat Andra yang sedang berjalan menghampiriku dan Jansen. Ia melambaikan tangannya seraya tersenyum lebar.
Andra meraih tanganku saat kami sedang berpapasan. Aku melirik dan melepas genggamannya yang mendarat di lenganku. Aku melengos meninggalkan mereka berdua di balkon.
Aku terus mengabaikan gapreters. Pesan mereka tak ada yang kubalas. Bahkan di rumah pun aku enggan bertemu mereka.
Keesokan harinya, Leo sudah kembali ke sekolah. Teman-teman dan guru-guru begitu antusias menyambut kedatangannya. Mereka tetap bangga kepada Leo meskipun ia tidak dapat mewakili sekolah di ajang SEA Games 2011.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gardenia Familia [COMPLETED]
General FictionKeluarga Bulan yang terdiri dari Ayah bernama Agus, Ibu bernama Septi, Kakak bernama Januar, Adik bernama Okta, dan aku bernama Juni. Tinggal di sebuah perumahan yang bernama Cluster Gardenia. Keluarga Pak Agus adalah penghuni pertama di Cluster Ga...