"Juniii," ucap Jansen memelas dengan bibir melengkung ke bawah. "Udah ngapa marahnya," ucapnya lagi yang berusaha membujukku.
"Diam lo! Males gue punya teman kayak lo!" Gertakku.
"Udah, jangan pada ribut. Mending kita pikirin gimana caranya agar Tisha mutusin Leo," ucap Indra.
Leo memutar kursi belajarnya. "Terus kalian ada ide nggak?"
Aku, Indra dan Jansen kompak menggeleng. Apalagi Andra, kurasa ia tidak memerhatikan kami yang sedang berdiskusi. Pandangannya sibuk membaca komik.
"Gimana, An?" Tanya Jansen pelan. "Ser?" Jansen menoleh Serena.
Aku sengaja mengajak Serena ke rumah Leo untuk membahas masalah ini. Bagaimanapun Serena adalah otak dari segala rencana.
"Bilang aja terus terang kalau lo udah nggak sanggup bohong." Serena menatap Leo serius.
Leo mendecakkan lidahnya. "Kalau alasannya begitu doang, gue nggak akan minta kalian kasih saran." Ia menambahkan, "Gue udah coba nolak dari segala cara, tapi dia tetap nggak mau mutusin gue. Dia bilang bakal bunuh diri karena nggak ada yang sayang sama dia. Gue takut kalau dia beneran mati, arwahnya bakal menghantui gue," ucap Leo lesu.
Jansen tertawa paling kencang, diikuti Indra yang terpingkal-pingkal. "Sial. Takut sama arwah lo? Gue kira takut sama ancaman Tisha."
"Serius gue." Leo memukul dua sahabatnya dengan sekotak tisu yang ada di sebelahnya.
"Lagian itu anak hobinya ngancam mulu, deh. Sen, apa sih yang lo suka dari Tisha? Kalau mau cari yang cantik dan pintar, di sekolah kita banyak kok, bukan cuma Tisha aja," sahut Serena.
"Kecuali Juni, ya. Dia bloon," sela Indra.
Aku menjambak rambut Indra dengan sekuat tenaga. "Gue mulu yang dibawa-bawa. Gue juga ogah sama Jansen. Dia lebih bego dari gue. Jorok pula. Cewek kalau lihat dia langsung bintitan kali matanya," sahutku geli.
"Kampret lo, Jun! Gini-gini gue banyak duitnya. Pekerja keras. Daripada lo, cuma jadi beban Bapak lo." Jansen menyeringai. Ia memicingkan matanya dengan tajam.
Aku langsung berdiri dan mendekat ke arah Jansen. "Apa lo bilang? Sombong amat mentang-mentang udah bisa cari duit sendiri." Aku menginjak kaki Jansen dengan kencang. Jansen merintih dan menjambak rambutku.
Andra datang menengahi pertikaian ini. "Kalau lo berdua mau ribut, gue mau pulang. Nggak usah ada kumpul-kumpul di sini." Ucapannya singkat namun menggetarkan hati yang sedang tersulut emosi.
"Kayaknya dia nggak bakal bunuh diri deh, hanya karena ditolak cowok. Lagi pula dia kan punya Kevin. Masa dia tega bunuh diri dan ninggalin adiknya sendirian. Itu tipuan dia aja," ucap Serena.
"Awalnya gue pikir begitu sampai gue cerita ke psikolog mengenai hal ini. Kondisi kayak Tisha ini disebabkan karena trauma masa lalu, makanya dia punya rasa kecemasan ketika orang itu nggak bisa di sampingnya. Kita nggak tau dia beneran mengancam atau emang bakal melakukan hal itu," ucap Leo dengan tatapan tajam.
Kami terdiam sesaat. Kupikir ini hanya akal-akalan Tisha yang mau mengelabui Leo. Ternyata, masalah ini cukup pelik.
"Lo yakin mau ikutin cara gue?" Serena membuka suara.
Kami semua kompak menatapnya yang sedang berdiri. Tanpa tunggu lama, kami semua mengangguk. Serena tersenyum dengan tangan bersedekap.
***
Pagi ini terlihat Jansen dan si kembar sedang berdiri di depan rumah Tisha.
Mereka bertiga ditugaskan Serena untuk memperlakukan Tisha selayaknya ratu sejagad semalam. Tujuannya untuk mengalihkan pikiran Tisha bahwa masih banyak laki-laki yang berkelakuan baik dan perhatian. Ini merupakan cara pertama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gardenia Familia [COMPLETED]
General FictionKeluarga Bulan yang terdiri dari Ayah bernama Agus, Ibu bernama Septi, Kakak bernama Januar, Adik bernama Okta, dan aku bernama Juni. Tinggal di sebuah perumahan yang bernama Cluster Gardenia. Keluarga Pak Agus adalah penghuni pertama di Cluster Ga...