Mourning

81 24 12
                                    

Mami Rita terlihat kurus kerontang, wajahnya pucat pasi, bagian atas kepalanya botak halus--hanya menyisakan sisa sedikit rambut. Selama ini Mami Rita selalu menutupi rambutnya dengan turban dan syal yang selalu melingkar di tubuh mungilnya.

Beliau terlihat ringkih dan lemas. Berjalan pun sudah tidak bisa seimbang dan harus dibantu oleh kursi roda. Si kembar begitu telaten mengurus Maminya yang sedang berjuang melawan rasa sakitnya.

Kanker payudara stadium 4 yang semakin menggerogoti tubuhnya, sudah terjadi selama 1,5 tahun ke belakang tanpa sepengetahuan kami. Mami Rita sangat pandai menutupi ini semua. Yang beliau tampilkan hanyalah kover keceriaan pada wajahnya--dan membiarkan lukanya mengalir untuk dirinya sendiri.

Mami Rita tidak mau dianggap orang sakit yang lemah. Mami hanya ingin diperlakukan selayaknya Mami yang kuat dan ceria. 

Para BuGar (Ibu-ibu Gardenia) saling berpelukan, menangis di pelukan Mami, dan memberikan semangat Mami untuk tetap bertahan. Begitu eratnya persahabatan ibu-ibu Gardenia hingga membuatku menitikkan air mata. Sebuah persahabatan yang dimulai dari sebuah permukiman kecil yang mampu menggetarkan banyak jiwa yang terlibat.

"Jun, benar apa kata lo. Mami nggak mau gue berlarut dalam kesedihan. Kalau gue dan Indra sedih, kondisi Mami bisa semakin drop."

"Iya, An. Pastikan Mami selalu merasa utuh ketika kalian ada di sampingnya."

Andra menatap Leo lamat-lamat. Terlihat ada rasa kikuk dari bola matanya.

"Leo, soal waktu itu gue minta maaf ya. Gue benar-benar refleks. Pikiran gue kacau. Gue harap lo dan Jun.."

Belum selesai berbicara, Leo sudah menepis ucapan Andra. "An, we are best friend. Di saat seperti ini lo butuh orang yang mampu menenangkan lo. Ada kita di sini. Nggak usah berpikir aneh-aneh. Fokus sama Mami."

Suara Leo mampu menenangkanku. Tatapannya begitu tulus. Gesturnya begitu hangat memeluk Andra. Tidak ada sorot mata kebencian terpancar dari wajahnya.

Setiap hari aku dan para gapreters rutin ke rumah si kembar. Entah untuk bermain, mengobrol, atau pun makan bersama Mami. Kami tidak akan membiarkan Mami kesepian di rumah. Selalu ada cara untuk membuatnya bertahan, yaitu kebersamaan.

Suatu ketika Mami Rita ingin mengobrol denganku empat mata.

"Kenapa, Mi?"

Mami Rita menyunggingkan senyuman di wajahnya. Kali ini membiarkan tangannya memainkan rambut panjangku. "Juni, anakku." Tangan Mami Rita menggenggam tanganku. "Dari dulu Mami pengin sekali punya anak perempuan. Tapi, kandungan Mami waktu itu terlalu lemah untuk bisa memiliki anak lagi." Tak henti-hentinya Mami menatapku dengan cahaya matanya yang indah. "Saat kami pindah ke Gardenia, Mami ingat betul ada seorang anak perempuan cantik yang mengantar Mami menuju rumah baru Mami. Anak itu selalu mengikuti Mami ke mana pun Mami pergi. Anak itu suka mengintip Mami dari rumahnya, menunggu Mami keluar, dan suka membantu Mami kalau lagi kerepotan. Padahal anak itu nggak ada ikatan darah sama Mami, tapi entah kenapa Mami sayang banget sama anak kecil itu layaknya anak sendiri."

Tanpa sadar aku tersentuh hingga meneteskan air mata. Aku mengingat semua cerita Mami Rita saat di mana pertama kali kami bertemu. 

"Mami suka banget tiap anak itu ke rumah. Entah untuk minta makanan, minjam majalah, memberantaki rumah, atau sekadar bercerita. Mami serasa punya teman lagi. Sampai Mami berandai-andai kalau Mami punya anak perempuan, pasti kami akan seperti ini. Bertukar pakaian, menghabiskan waktu di Mal, membeli alat make up bersama. Pasti seru banget. Ternyata Allah wujudin doa Mami melalui kamu, Jun. Mami bisa merasakan bahagianya punya anak perempuan seperti kamu." Mami Rita memelukku erat, air matanya tak mampu lagi dibendungnya.

Gardenia Familia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang